PALOPOPOS.FAJAR.CO.ID, JAKARTA-- Para akademisi yang berasal dari kalangan ahli berbagai bidang antara lain hukum, hak asasi manusia (HAM), politik, sejarah, sosiologi, antropologi, maupun keamanan menggelar sebuah kegiatan bernama “Sidang Pendapat Rakyat untuk Keadilan Pemilu.”
Ini bertujuan mendorong pengungkapan akar masalah kecurangan atau kejanggalan pelaksanaan Pemilu 2024 untuk mencerahkan masyarakat.
"Proses penyelenggaraan pemilu kita itu melibatkan 11 tahapan, melibatkan jutaan manusia, tidak hanya pemilih 204 juta, calonnya berapa puluh ribu, dan juga pendukungnya. Belum lagi anggaran yang dihabiskan saya kira lebih Rp100 triliun itu dikeluarkan oleh negara. Dapat disimpulkan bahwa proses penyelenggaraan pemilu itu merupakan pengorganisasian warga negara terbesar di satu negara," kata Prof. Dr. Ramlan Surbakti, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI 2004-2007, sekaligus Ketua Sidang Rakyat pada forum tersebut, di Jakarta, Jumat, 19 April 2024.
Prof. Ramlan menyampaikan bahwa pemilu tidak bisa dilihat hanya dari hasil melainkan dengan sejumlah indikator. Ia mengusulkan delapan parameter untuk menilai sebuah pemilu demokratis.
"Pemilu 2024, idealnya dinilai menggunakan delapan parameter pemilu demokratis seperti contohnya gerakan di Malaysia yang menyelenggarakan elektoral tribunal untuk parlemen Malaysia tahun 2013. Yang pertama ialah hukum pemilu demokratis menjamin kepastian, menjamin kesetaraan warga negara yang tergambar dalam daftar pemilih, kesetaraan keterwakilan, dalam pemungutan penghitungan suara, persaingan bebas dan adil antarpeserta pemilu," ungkapnya.
Indikator berikutnya untuk menilai sebuah pemilu demokratis ialah penyelenggara pemilu mandiri, profesional, berintegritas, serta efektif dan efisien, partisipasi pemilih dalam penyelenggaraan pemilu, dan proses pemungutan, penghitungan, dan rekapitulasi suara berdasarkan tujuh asa pemilu. Tak hanya itu sistem penegakan hukum dan penyelesaian sengketa pemilu dapat adil dan tepat waktu sehingga semua orang terlibat penyelenggaraan pemilu tanpa ada kekerasan.
Lebih lanjut, Prof. Dr. Zainal Arifin Mochtar menjelaskan mengenai Mahkamah Konstitusi (MK) bukan sekadar sebagai penghitung tetapi wajib berperan sebagai hakim yang melihat secara konstitusi. Maksudnya, substansi memiliki derajat lebih tinggi dibandingkan pada formalitas.
"Prinsip demokrasi di ruang demokrasi itu semua prosesnya harus dilakukan dengan baik. Selain demokrasi, konstitusionalisme merupakan salah satu fondasi penting berikutnya. Kemudian ada nepotisme yang menjadi musuh bagi demokrasi," ujar Prof. Zainal Arifin.
"Apa yang harus dilakukan. Kita mengajak semuanya, hakim scholar, tolong membayangkan dengan kejadian yang sekarang terjadi, apa pesan yang akan kita titipkan kepada anak cucu kita, apa yang kita sampaikan: apakah pesannya silakan curang-securangnya, atau apakah bahwa keadilan perlu ditegakkan walaupun ada ancaman," jelas Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.
Menyambung hal tersebut, Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Prof. Fathul Wahid menilai situasi berbangsa dan bernegara tidak baik-baik saja sehingga penting untuk menjaga konstitusionalisme.
"Penting juga menjaga konstitusionalisme. Situasi berbangsa dan bernegara tidak baik baik saja. Kami melihat sidang MK menjadi momentum menegaskan beberapa hal, apa yang nanti akan diketuk diputuskan oleh MK akan menjadi titik balik, mengembalikan kepercayaan publik, mengembalikan nama MK, menjadi momentum untuk menjadi perjalanan bangsa Indonesia di masa yang akan datang," tuturnya.
Pada sidang MK yang tengah berlangsung saat ini, pengajar hukum dan HAM PP Muhammadiyah Dr. Busyro Muqoddas menilai, putusan MK dalam waktu dekat ini perlu sekali berpihak kepada supremasi etika kenegaraan.
Bentuknya dengan memutus hasil Pemilu 2024 karena berbasis pada berbagai abnormalitas yang sudah menjadi fakta umum, sebagai hasil pemilu yang tidak memiliki keabsahan secara etika dan situasi bangsa dari derita adab dan derita rakyat.
"Ini merupakan peluang emas bangkitnya public trust kepada kualitas kenegarawanan delapan hakim MK. Sementara putusan MK dalam waktu perspektif futuristic, sangat penting untuk antisipatif, yaitu menutup pintu radikalisme korupsi yang potensial pada konfigurasi presiden dan kabinet yang berwatak KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme)," papar Dr. Busyro.
Ia menambahkan, putusan hakim yang berjiwa dan berbasis keunggulan etika merupakan refleksi keadaban pemimpin bervisi ilmuwan etis profesional dan sebagai oase di tengah padang pasir iklim kemarau panjang ilmuwan penikmat jabatan yang tandus dari ruh, nilai, dan asa kerahmatan dan kebarakahan.
Pemikir Kebhinekaan Dr. Sukidi juga menyampaikan bahwa hakim MK dapat menegakkan kembali marwah, makamah konstitusi, dan sikap kenegarawanan untuk menegakkan konstitusi yang memberikan asas kemanfaatan kepada seluruh rakyat Indonesia. "Sebagai penjaga konstitusi, sebagai penjaga konstitusi, saya berharap bahwa para hakim Mahkamah Konstitusi mengurai para hakim Mahkamah Konstitusi mengurai akar masalah pilpres yang terjadi pada tahun 2024 ini," ungkap Dr. Sukidi.
Oleh sebab itulah, Prof. Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia (UI) menyebut para majelis hakim MK sebagai guardian of constitution.
Alasannya ialah para hakim memiliki kewenangan sangat besar sekaligus sebagai begawan yang menghadirkan keadilan substantif.
"Maka pemilu merupakan the heart of democracy. Dari pemilu yang baik akan melahirkan pemimpin yang amanah, bisa dimintai pertanggungjawabannya, untuk membuat masyarakat sejahtera lahir dan batin," kata Prof. Sulistyowati.
Putusan MK, lanjut guru besar UI itu, sangat diharapkan agar dapat menghasilkan kepemimpinan yang tepat, benar, dan adil sehingga tidak akan menimbulkan bahaya yang besar dengan nilai baru yang buruk.
Selain itu putusan MK nanti diharapkan harus bisa mengoreksi putusan MK sebelumnya.
Adapun hal senada mengenai dampak buruk ketika pemilu tidak dijalankan dengan baik disampaikan oleh Prof. Dr. Siti Zuhro, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), PP Muhammadiyah. Ia meyakini bahwa Pemilu 2024 seharusnya dapat menjadi tiang pancang bagi Indonesia untuk lepas landas (take off) bersama bonus demografi menuju Indonesia Emas 2045.
Sebaliknya, Pemilu 2024 dapat dinilai sebagai pemilu yang amat sangat mengkhawatirkan dan membahayakan NKRI.
"Karena ada cawe-cawe luar biasa dari penguasa, melakukan intervensi politik ke semua stakeholders, aparat penegak hukum, birokrasi, sampai ke relawan. Kata kuncinya jelas maintaining power," tegas dia.
Oleh karena itu, sambung Prof. Siti Zuhro, bangsa ini was-was karena pemerintah yang berkuasa tidak serius membawa bekal untuk Indonesia emas 2045. Padahal, cita-cita besar tersebut wajib dibangun sejak lama melalui tahapan jelas dan terukur.
"Sehingga hal ini yang seharusnya ditaati dan disepakati. Tidak ada pembajakan. Namun tampaknya tidak mudah karena para elitenya sangat menghambat. Dan menjadikan demokrasi Indonesia mundur dan gloomy. Maka tidak tertutup kemungkinan, Indonesia menuju otoritarianisme seperti orde baru yang dwifungsi abri. Akan tetapi sebaliknya, kita masih sangat optimis, bila kampus, civil society, dan intelektual, demokrasi bisa diselamatkan," tegas Prof. Siti Zuhro. (*/pp)