KEMISKINAN DAN KOMITMEN CAKADA LUWU

  • Bagikan

Afrianto,M,Si
Dosen Universitas Mega Buana Palopo

Kemiskinan dan ketimpangan di kabupaten luwu perlu menjadi perhatian khusus bagi pemerintah kedepan, terlebih lagi momentum pilkada akan dihelat pada 27 november tahun ini. Isu ini tentu sangat penting dan strategis menjadi bahan utama para kandidat menyusun kertas kebijakan jika terpilih. Komitmen para kandidat perlu dicermati melalui strategi yang mereka trawarkan untuk memastikan masalah ini bisa diselesaikan.

Di kabupaten luwu berdasarkan data BPS Provinsi Sulawesi selatan, Kabupaten luwu menempati urutan ke tiga dari 24 kabupaten/kota yang memiliki jumlah kemiskinan terbesar di Sulawesi selatan. Jumlah kemiskinan di tahun 2023 memang mengalami penambahan yang cukup besar kurang lebih 1100 jumlah orang miskin, tercatat jumlah orang miskin di tahun 2023 sebanyak 47,67 (ribu) orang. Angka ini mengalami kenaikan jika dibandingkan kondisi di tahuh 2022 yang tercatat sebanyak 46,5 (ribu) orang. Lalu, jika dilihat dari sisi jumlah orang miskin selama periodesasi kepemimpinan basmin mattayang dan syukur bijak yang menahkodai kabupaten luwu sejak tahun 2019 hingga 2024, tidak ada penurunan yang signifikan bahkan jumlahnya bertambah. Tidak hanya jumlah penduduk miskin yang bertambah, indeks kedalaman dan indeks keparahan kemiskinan juga mengalami kenaikan. Ini tentu bertolak belakang dengan visi misi Kabupaten Luwu yang Maju, Sejahtera dan Mandiri dalam Nuansa Religius”

MASALAH YANG KOMPLEKS

Chambers dan Nasikun (2001) berpendapat bahwa kemiskinan adalah suatu kesatuan konsep yang memiliki lima dimensi. Lima dimensi itu meliputi kemiskinan (poverty), ketidakberdayaan (powerless), kerentanan menghadapi situasi darurat (state of emergency), ketergantungan (dependence), dan keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis. Kemiskinan tidak bisa diurai hanya karena satu – dua soal saja atau dihakimi karena problem kultur, masalah kemiskinan adalah masalah kompleks yang memiliki hubungan erat dengan persoalan stuktural. Misalnya saja terkait kebijakan pemerintah yang menempatkan posisi masyarakat miskin dalam kacamata ketidakmampuan ekonomi semata, ini hanya akan menciptakan efek ketergantungan dan ketidakberdayaan masyarakat. Pemerintah setiap tahunnya memberi bantuan melalui berbagai program subsidi/bantuan sosial tetapi tidak juga mengangkat kelas ekonomi masyarakat miskin. Hal ini disebabkan karena program yang dijalankan pemerintah bersifat amal-karitatif.

Tidak ada yang salah dengan program tersebut, karena program ini berupaya untuk membantu masyarakat miskin mengurangi tekanan kebutuhan hidupnya. Namun, selama ini kebijakan pengentasan kemiskinan tidak pararel dengan masalah pendapatan/sumber ekonomi mereka. Apalah artinya memberi bantuan subsisdi pupuk dan alat – alat pertanian semacamnya untuk menambah produksi mereka jika pada akhirnya produk mereka hanya dibeli dengan harga murah, produksi bertambah tapi nilai produknya sangat rendah, jadi sangat mustahil untuk menyelesaikan masalah kemiskinan ini jika paradigm pembangunan pemerintah daerah masih seperti ini.

Sektor pertanian di kabupaten luwu masih menjadi leading sektor perekonomian yang menyumbang lebih dari 52 %. Memang ini memilukan, dengan potensi SDA yang melimpah di kabupaten luwu semestinya bisa dikelolah dengan baik dan memberi dampak ekonomis bagi masyarakat. Jumlah tenaga kerja yang paling banyak di sektor pertanian seringkali menghadapi maslah ketidakpastian harga,terlebih lagi mereka tersandera oleh skema tengkulak.

Kemiskinan tidak pernah teratasi secara benar dan efektif, dana ratusan miliyar setiap tahun yang digunakan dengan berbagai program pengentasan kemiskinan tidak juga mengubah nasib rakyat dari kemelaratan.

JANJI HARUS DITEPATI
Dua misi pemerintah kabupaten luwu yang tertuang dalam dokumen pembangunan yang bereorentasi pada pengembangan ekonomi kerakyatan adalah melalui pengembangan koperasi, usaha mikro kecil menengah dan perluasan lapangan kerja dan mewujudkan ketahanan pangan dan perekonomian daerah yang tangguh berbasis agrobisnis. Misi ini semestinya berkorelasi dengan kebutuhan anggaran berbasis pada pemihakan yang diperkuat di area kebijakan (intervensi hulu–hilir). Pembangunan pada sektor pertanian di kabupaten luwu harusnya sejalan dengan komitmen anggaran, karena ketimpangan dalam prioritas pos anggaran dapat menyebabkan kemiskinan semakin parah, alokasi insfrastruktur yang tidak berkorelasi dengan kegiatan ekonomi mereka hanya akan menciptakan ketimpangan yang lebih dalam antara masyarakat perkotaan dan pedesaan.

Sebentar lagi masyarakat kabupaten luwu akan diperhadapkan dengan kontestasi Pilkada, tentu ada banyak janji yang ditabur untuk meyakinkan masyarakat, Isu kemiskinan menjadi topik utama, mereka akan bicara memprioritaskan keadilan dan kesejahteraan rakyat fakir miskin sebagai standar tertinggi dalam pelayanan public jika terpilih.

Sungguhnya, pengentasan kemiskinan membutuhkan penguatan di area hulu (kebijakan) dengan komitmen yang kuat (bukan sekedar janji), dimana permasalahan kemiskinan ini harus diintervensi melalui integrasi program yang berkelanjutan. Penurunan kantong – kantong kemiskinan di area subur (pertanian) tidak bisa hanya memanjakan masyarakat dengan segala macam subsidi dan jaminan sosial. Pemerintah kabupaten luwu sudah harus mendorong kolaborasi multipihak dengan meluaskan program pemberdayaan. Tentu saja ini diawali dengan melakuan identifikasi sosial yang kompleks untuk melihat potensi dan tantangan yang ada di masyarakat, setelah itu dilakukan penilaian kebutuhan masyarakat. Pemerintah daerah dalam membangun infrasktruktur tidak boleh berdasarkan pada keinginan yang egois dan eksesif.

Peneguhan komitmen dibutuhkan dalam berbagai ruang – ruang sosial. Pemerintah sebagai pemegang otoritas kebijakan yang selanjutnya mengendalikan, mengatur, dan mendesain lahirnya kebijakan dan institusi-institusi ekonomi Kita tidak ingin mereka yang berjanji di depan publik hanya menunjukkan parade keserakahan ditengah kemelaratan masyarakat. (*)

  • Bagikan

Exit mobile version