PALOPOPOS.FAJAR.CO.ID, JAKARTA-- Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) terus mendapat sorotan. Karena, berdalih akan membantu pekerja, Tapera justru disebut tidak menyentuh kesejahteraan buruh. Pengamat Ketenagakerjaan Timboel Siregar menyebut pekerja/buruh tidak otomatis mendapat manfaat dari program yang diikuti. Baik itu manfaat KPR, pembangunan rumah, maupun perbaikan (renovasi) rumah.
Pasal 38 ayat (1b dan 1c) UU Tapera hanya mensyaratkan pekerja yang termasuk golongan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan belum memiliki rumah. Artinya, ada pembatasan upah yang menjadi kriteria penerima manfaat Tapera. Hal itu dikuatkan dengan Pasal 39 ayat (2c) yang menyatakan pemberian manfaat berdasar tingkat kemendesakan kepemilikan rumah yang dinilai oleh BP Tapera.
Dengan kata lain, akses peserta ke manfaat Tapera akan ditentukan lebih lanjut. ”Jadi, pekerja swasta/BUMN/BUMD diwajibkan menjadi peserta Tapera, tetapi tidak mendapat manfaat, seperti pekerja yang memiliki upah di atas kriteria MBR,” katanya.
Pekerja/buruh seolah hanya dikeruk pendapatannya tanpa keuntungan apa pun. Mengingat, tidak ada kepastian imbal hasil. Hal itu berbeda dengan dana jaminan hari tua (JHT) yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan. Imbal hasilnya jelas, minimal sama dengan rata-rata deposito bank pemerintah. ”Dan, selama ini rata-rata imbal hasil yang dikembalikan kepada peserta JHT adalah di atas 1 hingga 2 persen di atas rata-rata suku bunga deposito pemerintah,” ungkapnya.
Selain itu, lanjut dia, pemerintah sepertinya lupa bahwa saat ini sudah ada fasilitas perumahan bagi pekerja formal swasta dan BUMN/BUMD di BPJS Ketenagakerjaan. Itu diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No 17 Tahun 2021 tentang Manfaat Layanan Tambahan (MLT) Perumahan. Program JHT memberikan manfaat yang sama dengan Tapera. Yakni, KPR, pembangunan rumah, atau renovasi rumah. Dalam aturan tersebut, nilai besaran program uang muka perumahan yang diberikan kepada peserta terbilang cukup besar. Untuk KPR paling banyak Rp 500 juta dan untuk renovasi paling banyak Rp 200 juta.
Selain MLT perumahan, pekerja bisa menggunakan Pasal 37 ayat (3) UU SJSN untuk menggunakan paling banyak 30 persen dari saldo JHT-nya untuk perumahan. Dengan syarat, sudah menjadi peserta minimal 10 tahun. ”Jadi, ada overlapping antara MLT perumahan dengan UU Tapera. Oleh karenanya, maksimalkan saja MLT perumahan dan Pasal 37 UU SJSN untuk keperluan perumahan pekerja. Sehingga pekerja tidak perlu lagi dibebani dengan wajib membayar iuran di Tapera,” tegasnya.
Dia mengusulkan agar pemerintah dan DPR segera merevisi UU Tapera, khususnya Pasal 7, 9, dan 18, dengan mengubah kewajiban bagi pekerja menjadi kepesertaan sukarela. Pemerintah juga sebaiknya fokus untuk pemenuhan kebutuhan rumah bagi ASN dan masyarakat, termasuk masyarakat miskin melalui bantuan APBN.
Di sisi lain, Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengakui bahwa kebijakan Tapera belum tersosialisasikan dengan baik. Menurut dia, tujuan dibentuknya Tapera adalah saling membantu atau bergotong royong dalam penyediaan rumah. Yang belum punya rumah bisa mendapatkan akses KPR lewat Tapera. Lalu, bagi pekerja yang sudah punya tanah, tapi kesulitan uang untuk membangun rumah, disiapkan kredit bangun rumah (KBR).
Kemudian, yang sudah punya rumah bisa mendapatkan layanan kredit renovasi rumah (KRR). Bagi pekerja peserta Tapera yang tidak membutuhkan tiga fasilitas itu, uang iurannya seperti ditabung. ”Pada saatnya nanti dikembalikan. Jadi, ini seperti tabungan,” kata Ma’ruf di sela kunjungan kerja di Aceh kemarin.
Sementara itu, pakar kebijakan publik Universitas Indonesia (UI) Lina Miftahul Jannah memahami adanya polemik di masyarakat mengenai Tapera. Dia menyatakan, Tapera adalah program yang memiliki segmen khusus. Yaitu, pekerja atau masyarakat yang sulit mendapatkan akses pada pembiayaan KPR atau sejenisnya. ”Kemudian, ini diberlakukan untuk semua pekerja. Dengan semangat gotong royong,” katanya.
Padahal, tidak semua pekerja membutuhkan dana tersebut. Misalnya, pekerja yang sudah memiliki rumah atau pekerja yang memiliki tabungan rutin untuk masa pensiunnya. Wajar mereka merasa keberatan.
Apalagi, pekerja yang dipaksa ikut Tapera, tetapi statusnya non-MBR tidak bisa merasakan manfaat maksimal dari Tapera. Pekerja kelompok itu hanya akan mendapatkan pengembalian iuran Tapera sekaligus hasil pengelolaannya. ”Iya kalau investasinya benar. Sebelumnya kan ada kasus Jiwasraya dan Asabri,” katanya.
Terpisah, anggota DPR RI Herman Khaeron mengatakan, pemerintah harus meninjau ulang kebijakan Tapera. ”Kemudian me-review mana yang diterapkan dan mana yang harus memberikan rasa keadilan serta mana pula yang harus menjadi mandatory,” terangnya dalam acara diskusi di kompleks parlemen Senayan kemarin.
Sebenarnya, kata Herman, Tapera diatur sejak munculnya UU 4/2015 tentang Tapera. Kemudian, lahir Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25/2020. Pro-kontra muncul ketika terbit PP Nomor 21/2024. ”Karena iuran Tapera diwajibkan untuk semua sehingga memberatkan masyarakat. Jadi, PP yang baru itulah yang menjadi masalah,” ucapnya.
Herman menegaskan, sebelum aturan itu dibuat, seharusnya ada pengkajian dan sosialisasi yang bermakna kepada masyarakat. ”Karena user-nya adalah seluruh masyarakat, user-nya kita semua. Oleh karena itu, saya harapkan pemerintah bisa merespons karena ini peraturan pemerintah,” tegasnya. (jawapos/pp)