Oleh : Nurdin (Dosen IAIN
Sosok Charlie Chaplin yang begitu terkenal di dunia hiburan, dia adalah seorang pelawak, sutradara, dan komposer film yang berasal dari Inggris, terkenal pada era film bisu (Pantomim). Ia menjadi ikon dunia melalui perannya sebagai "Tramp" dan dianggap sebagai salah satu tokoh penting dalam sejarah industri film.
Chaplin memiliki pengalaman dan cerita yang lucu, menarik serta penuh makna karena saking terkenal dan lucunya, sampai-sampai diadakan suatu lomba untuk memilih siapa yang paling mirip dengan wajahnya dan menariknya lagi, karena dalam perlombaan itu Chaplin ikut serta dalam perlombaan tersebut.
Lomba pun digelar, karena kala itu Chaplin benar-benar terkenal apalagi karakternya yang khas dengan kumis mirip Hitler sang pemimpin Jerman dan ketua partai Nazi yang pernah membantai 6 juta orang Yahudi. Si Chaplin juga senantiasa menggunakan topi tinggi hitam dipadu jasa sewarna dengan tongkat panjang yang selalu dibawanya.
Perlombaan mirip wajah Chaplin ini menyedot perhatian publik, diikuti ribuan peserta dan hanya ratusan yang lolos ke babak selanjutnya. Menariknya lagi, sebab salah satu juri dalam perlombaan itu adalah adik kandung Chaplin sendiri.
Secara diam-diam Chaplin ikut serta dalam perlombaan itu tanpa sepengetahuan adiknya yang jadi juri. Setelah melalui persaingan yang ketat, tibalah saatnya diumumkan hasil dari perlombaan itu dan hasilnya sangat mengejutkan Charlie Chaplin.
Oleh karena, Chaplin yang asli kalah dalam lomba mirip wajahnya. Bahkan, di babak final Chaplin yang asli menempati urutan ketiga dalam perlombaan itu. Setelah dilakukan penelusuran, rupanya yang menempati urutan pertama adalah anak dari ketua panitia pada perlombaan tersebut, "sungguh membingungkan" kata Chaplin.
Lalu apa pesan moral yang dapat dipetik dari kisah Charlie Chaplin di atas ? Sederhananya, bahwa sepertinya dalam sebuah perlombaan, pemilihan atau apalah namanya membutuhkan relasi atau orang dalam (Ordal).
Termasuk dalam lingkup organisasi atau pekerjaan, mereka yang mempunyai keahlian dan kemampuan seringkali dikalahkan oleh mereka yang memiliki Ordal atau dekat dengan pengambil kebijakan. Jelas, praktik semacam ini membuat banyak orang terutama bagi mereka yang tidak punya Ordal menjadi pesimis karena dianggap tidak adil.
Dan akan lebih fatal lagi apabila mereka yang terpilih akibat Ordal, tidak memiliki skill atau kemampuan untuk mengerjakan suatu pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya, maka tunggulah kehancurannya.
Sejatinya kompetensi yang menjadi perhatian, serahkan segala urusan pada ahlinya, berdasarkan kompetensi, keilmuannya, bukan atas dasar kolusi, nepotisme, balas jasa, atau bagi-bagi jabatan sebab selain bahaya korupsi, yang seolah terlupakan adalah bahaya dari dampak kolusi dan nepotisme. (*)