Dari Rumah Susun hingga Tapera, akankah Menyolusi Masalah Perumahan

  • Bagikan

* Oleh: Sitti Hidayah, S.T

(Aktivis Dakwah Majelis Qolbun Salim Palopo)

Memiliki rumah layak huni dan nyaman menjadi dambaan setiap orang. Namun faktanya, di negeri kita saat ini kebutuhan primer ini layaknya sesuatu yang “mewah” , karena sulit dipenuhi. Terutama bagi masyarakat kalangan menengah ke bawah. Apalagi tiap tahun harga rumah mengalami kenaikan. Ini disebabkan meningkatnya permintaan, inflasi, masifnya pembangunan rumah dan infrastruktur.

Biasanya persentase kenaikan rumah sekitar 10-15 persen setiap tahun. Namun, ini berbeda-beda di setiap daerah, seperti di Tangerang, harga rumah mengalami kenaikan 25 persen (99.co 18/7/2023).

Sementara kebutuhan akan rumah masih tinggi. Pada tahun 2023, sebanyak 15,21 persen rumah tangga di Indonesia yang belum memiliki rumah. Dari jumlah 15,21 persen, status rumah yang sedang ditempati para keluarga kontrak/sewa 5,05 persen, bebas sewa 9,37 persen, rumah dinas 0,76 persen, dan lainnya 0,03 persen (kompas.com 9/2/2024).

Dengan data tersebut, tak heran jika masih banyak keluarga yang terpaksa tinggal di tempat tak layak huni, seperti: di kolong jembatan, di pemukiman kumuh, tidur di emperan tokoh, di gang-gang sempit, tak sedikit yang membangun rumah ala kadarnya, ada pula yang membangun rumah di area rawan bencana. Sungguh miris.

Liberalisasi Properti Makin Kuat

Penyediaan rumah layak huni dan lingkungan sehat merupakan tanggungjawab negara. Namun, belum sanggup dipenuhi oleh negara. Oleh karenanya, penyediaan perumahan masih didominasi pihak asing. Investasi sektor properti makin diminati di negeri ini. Dengan mekanisme pasar bebas, siapapun bisa berinvestasi dan memiliki properti di Indonesia. Nampak dari pembangunan properti makin masif, seperti: konsep kota mandiri makin menjamur, terutama di ibukota dan kota-kota besar lainnya.

Alhasil, liberalisasi makin menguat di negeri ini, mulai dari pemilikan lahan hingga pengelolaan material bangunan didominasi swasta, wajarlah harga rumah makin tinggi dan mengalami kenaikan tiap tahun, karena pengelolaan perumahan sudah berorientasi bisnis. Ditambah anjloknya nilai rupiah terhadap dollar, harga properti makin melambung tinggi. Mirisnya, para investor membeli murah lahan strategis kepada pemerintah, bahkan dimodali pemerintah, lalu investor menjual properti dengan harga mahal kepada rakyat.

Di era Soeharto, mulai digulirkan program rumah susun untuk masyarakat berpenghasilan rendah, dilanjutkan di era setelahnya. Namun program ini sudah sarat dengan liberalisasi, karena dibangun oleh pihak luar. Sekalipun sudah dilengkapi fasilitas, namun tak lepas pula dari masalah, seperti: sirkulasi yang masih kurang, koridor sempit, ada yang jauh dari fasilitas umum.

Di tahun 1962 sudah mulai program Kredit Pemilikan Rumah (KPR), dan berlanjut hingga saat ini. Hanya saja kebutuhan akan rumah terus naik seiring meningkatnya harapan hidup dan bertambahnya jumlah penduduk.

Meningkatnya arus urbanisasi turut memberi andil tingginya tingkat kebutuhan perumahan di kota-kota besar. Inilah yang menarik para investor untuk berinvestasi di sektor properti, apalagi pemerintah memberi kemudahan regulasi kepada investor. Harga lahan dan rumah menjadi mahal, hanya bisa dijangkau kalangan tertentu. Mirisnya, rakyat ada yang tergusur, di saat yang sama, pemerintah begitu mudah memberi lahan kepada para investor.

Kehadiran rumah susun, KPR, meski sedikit memberi angin segar kepada rakyat, namun kebutuhan akan rumah masih tinggi. Berdasarkan data Survey Ekonomi Nasional (Susenas) 2021, backlog kepemilikan rumah di Indonesia tercatat 12,71 juta rumah tangga.

Pemerintah melalui Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat akan menggelontorkan dana Rp13,72 triliun untuk membangun 166.000 unit rumah subsidi Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Ini diperkirakan akan memangkas 1,3 persen angka backlog kepemilikan rumah (Bisnis.com 28/12/2023).

Dengan angka tersebut, bagaimana nasib 12,42 juta rumah tangga lainnya?
Meski telah disubsidi pemerintah, sanggupkah masyarakat membeli? Jika pendapatan masyarakat di kisaran UMR/UMK saat ini atau lebih rendah dari UMR/UMK, dengan harga rumah subsidi tahun ini terendah Rp.166 juta hingga tertinggi Rp.240 juta? (detik properti 2/1/2024).

Di samping cicilan rumah, rumah tangga pun harus mengeluarkan iuran lainnya,seperti: iuran BPJS, pajak, dan iuran lainnya. Rumah rentan tak terbeli, meski dengan harga dan cicilan lebih rendah daripada rumah non subsidi, serta berbagai kemudahan lainnya.

Adapula program rumah murah telah direalisasikan pemerintah Jokowi, namun sepi peminat karena lokasi jauh dari akses terhadap moda transportasi. Banyak yang masih kosong, tak terurus dan bahkan ada yang sudah rusak. Rumah murah ini juga dibangun oleh swasta dengan kualitas kurang bagus dan mudah rusak. Ini pun tidak menyolusi masalah perumahan di ibukota.

Baru-baru ini pemerintah menetapkan kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Tapera ini dikenakan kepada setiap pekerja dengan usia paling sedikit 20 tahun dan sudah kawin yang memiliki paling sedikit sebesar upah minimum wajib menjadi peserta Tapera. Tak terkecuali bagi yang sudah punya rumah (CNBC Indonesia 31/5/2024).

Namun, kebijakan tapera ini masih menuai pro-kontra. Protes datang dari pihak pekerja dan pengusaha. Selama ini gaji pekerja telah dipotong berbagai iuran, mengapa malah akan ditambah lagi dengan iuran Tapera? Pengusaha pun mengeluhkan iuran yang harus mereka bayarkan. Besaran tapera 3 persen dari gaji pekerja, dengan rincian 2,5% dikenakan kepada pekerja dan 0,5% ditanggung pengusaha.

Beberapa kalangan juga mempertanyakan efektifitas kebijakan ini. Betulkah akan menjadi solusi masalah perumahan? Ataukah justru rentan masalah? Dan berbagai pertanyaan lainnya.

Dari kebijakan rumah susun hingga Tapera, semakin menegaskan kuatnya aroma liberalisasi sektor properti di negeri ini. Inilah tabiat kapitalisme, dengan mekanisme pasar menjadikan negara berlepas tangan terhadap urusan rakyatnya, lebih memihak para oligarki, abai urusan rakyat bahkan dzolim kepada rakyat. Rakyat harus berjuang sendiri di tengah kehidupan yang makin sulit menghimpit. Sampai kapan?

Islam Menjamin Ketersediaan Rumah

Memiliki rumah nyaman akan menyenangkan dan membuat bahagia. Rumah menjadi kebutuhan mendasar yang harus dipenuhi.

Dalam Islam, negara menjamin pemenuhan kebutuhan rumah tiap-tiap individu rakyatnya secara menyeluruh. Ini tertuang dalam politik ekonomi Islam yang menjamin kebutuhan primer termasuk rumah dan membantu tiap-tiap individu rakyatnya memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai kadar kesanggupannya. Negara akan membuka lapangan kerja seluas-luasnya, sehingga para laki-laki bisa mencukupi nafkah tanggungannya, termasuk rumah.

Negara akan mengelola langsung penyediaan perumahan rakyat sesuai syariat tanpa meyerahkannya kepada swasta. Jikapun swasta terlibat, haruslah sesuai dengan ketentuan syariat.
Karena Imam atau Khalifah adalah ra’in (pengurus) urusan umat dan pelayan bagi rakyatnya. Khalifah memastikan tiap individu rakyatnya tinggal di rumah layak huni, sehat dan nyaman. Tidak dengan pinjaman ribawi atau transaksi batil.

Dengan Sistem Ekonomi Islam, pembangunan perumahan didanai oleh baitul mal. Baitul mal memiliki banyak pos pemasukan, ternasuk dari pengelolaan SDA. Dengan begitu, harga rumah murah, terjangkau. Rakyat juga tdak dibebani bebagai iuran dan pajak, karena negara telah menggratiskan pendidikan, kesehatan dan keamanan.

Demikian pula, pemberlakuan mata uang dinar dan dirham, iklim usaha yang sehat sesuai syariat akan menghilangkan distorsi pasar, menstabilkan harga. Harga lahan, material bangunan, dan upah tenaga kerja cenderung stabil.
Dalam Islam, pekerja diupah oleh musta’jir (majikan) sesuai manfaat yang diberikan, dengan prinsip keridhoaan di antara keduanya, bukan berdasarkan UMR/UMK, dan tanpa potongan iuran kepada pekerja ataupun yang mempekerjakan (musta’jir) sebagaimana dalam kapitalisme saat ini.

Terkait lahan, negara akan mengatur , merencanakan dan membuat pemukiman senyaman mungkin, dilengkapi dengan fasilitas dan infrastruktur memadai, seperti: jalan, pasar, moda transportasi, sarana ibadah, sekolah, fasilitas kesehatan. Dengan begitu, perumahan yang dibangun betul-betul sesuai peruntukannya dan nyaman untuk ditinggali, sehingga tak ada yang kosong, terlantar sebagaimana nasib banyak perumahan saat ini.

Penerapan sistem ekonomi Islam mampu mensejahterakan rakyatnya, sehingga bisa membeli rumah layak huni dan nyaman. Adapun kalangan fakir, miskin dan yang tidak mampu akan diberikan bantuan rumah gratis oleh negara, atau ada yang tidak layak huni pun akan diberi bantuan perbaikan. Sehingga tak seorangpun yang di rumah atau tempat tidak layak, terlantar, hidup di jalanan atau menjadi gelandangan.

Demikianlah mekanisme Islam dalam penyediaan rumah, memberi solusi atas persoalan perumahan. Tentu ini bisa terwujud jika Islam diealisasikan secara menyeluruh, sebagaimana Islam telah ditegakkan dan dicontohkan oleh Rasulullah saw dan Khalifah setelah beliau. Semoga ummat segera sadar. (*)

  • Bagikan

Exit mobile version