Tabiat Pasangan Cakada Jika Terpilih: Di Awal Mesra, di Tengah Konflik, di Ujung Bubar!

  • Bagikan

(Nurhaeni Amir: Direktur Pemberitaan Media Digital Diskursus Network/ Eks Bendahara Golkar Luwu/ Tenaga Ahli Anggota Komisi III DPR RI/ Ketua Bid.Infokom BPP KKLR).

PILKADA serentak 2024 yang dijadwalkan berlangsung pada 27 November 2024 sudah makin terasa hiruk pikuknya. Para Calon Kepala Daerah sudah mulai sibuk bergerilya mencari rekomendasi partai hingga mencari calon wakil untuk menjadi "pasangan ideal" demi memuluskan langkah menjadi orang nomor satu di daerah.

Sesuai dengan amanat UU nomor 10/2016 tentang Pilkada tepatnya pada pasal 40 yang berbunyi:

Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan.

Meski sesuai dengan amanat Undang-Undang, pasangan Calon Kepala Daerah sering kali berakhir dengan mengecewakan jika sudah terpilih mengemban amanah rakyat. Tidak jarang kita jumpai banyak kepala daerah yang akhirnya berkonflik dengan wakilnya pasca-dilantik.

Perseteruan kepala daerah dan wakilnya didasari karena beberapa faktor misalnya kepala daerah dan wakil yang berasal dari partai politik yang berbeda. Ini bisa memicu perbedaan pandangan dan kebijakan, serta persaingan untuk mendapatkan pengaruh dan kekuasaan.

Hal lain yang menjadi pemicu adalah perbedaan Visi dan Misi. Meskipun secara formal kepala daerah dan wakilnya seharusnya memiliki visi dan misi yang sama, kenyataannya perbedaan pandangan dan prioritas sering muncul dalam pelaksanaan kebijakan.

Kepala daerah dan wakilnya saat terpilih juga memiliki ambisi politik individu yang dapat menjadi sumber konflik. Wakil kepala daerah mungkin merasa memiliki kesempatan atau keinginan untuk menjadi kepala daerah pada masa mendatang, sehingga memicu persaingan dan ketegangan.

Belum lagi, pembagian tugas yang sering kali dianggap tidak jelas. Ketidakjelasan dalam pembagian tugas dan tanggung jawab sering kali menyebabkan gesekan. Peran dan fungsi tidak terdefinisi dengan baik, kedua pihak bisa saling tumpang tindih atau merasa tidak dihargai. Hal ini biasanya paling banyak dikeluhkan posisi wakil.

Hal lain yang bisa mempengaruhi buruknya hubungan antara kepala daerah dan wakilnya adalah tidak adanya komunikasi yang efektif, tekanan dari pihak luar seperti partai politik, kelompok kepentingan, atau bahkan keluarga. Ketidakpuasan terhadap kinerja masing-masing pihak hingga ego dan karakter pribadi juga bisa memperburuk hubungan.

Kepala daerah dan wakilnya seharusnya bisa memberikan contoh yang baik kepada masyarakat, tidak saling gontok-gontokan memperebutkan pengaruh serta tidak berebut menempatkan orang-orang terdekatnya dalam jabatan strategis demi kepentingan pribadi atau kelompok semata.

Pengalaman dan kedewasaan berpolitik menjadi modal yang diperlukan bagaimana mengelola konflik di dalam menjalankan pemerintahan. Pelatihan kepemimpinan, kapasitas dan kapabilitas calon juga harus menjadi tolok ukur Parpol sebelum mengusung Paslon. Jangan sampai pesta demokrasi tercedrai karena calon-calon yang dihasilkan adalah "produk karbitan" pragmatisme yang menyesatkan dan politik balas budi.

Momentum Pilkada menjadi pelajaran bagi rakyat untuk benar-benar bisa memilih pasangan calon yang nantinya bisa bekerja dengan baik dan kompak selama 5 tahun ke depan. Pemilih harus mampu melihat dengan jeli siapa pasangan calon yang ke depan bisa sejalan, bekerja memperjuangkan kesejahteraan rakyatnya. Setiap Pasangan Calon yang akan maju harus dipastikan komitmennya untuk bekerja atas kepentingan umum, bukan ambisi dan kepentingan pribadi. (*Mekkah, 8 Juni 2024)

  • Bagikan

Exit mobile version