Oleh. : Dr. Syahiruddin Syah, M.Si
Wakil Dekan Univ Andi Djemma Palopo.
POLITIK dan demokrasi di Indonesia negeri yang kita cintai, sebagai anak bangsa merasa tidak mencerminkan edukasi dan tidak lagi menggunakan cara-cara etis dalam praktek dan implementasinya. Hal ini tidak sesuai lagi dengan praktek sebuah negara yang demokratis dengan mengedepankan azas hukum konstitusional.
Dalam sebuah Hukum konstitusi penafsiran hukum tentunya dengan pertimbangan etis (etika) kemudian dijabarkan dengan norma, yaitu dimulai dengan norma agama, kesusilaan, kesopanan sampai norma hukum positif.
Dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia kan berdasarkan hukum konstitusi yang dijabarkan melalui hukum perundang-undangan yang berlaku, lalu demokrasi itu dilanggar, ini yang tidak bisa saya fikirkan karena yang melanggar hukum dalam proses demokrasi adalah para penguasa sendiri, dan para pimpinan partai Politik, baik ditingkat pusat, hingga ke Daerah.
Semua aturan (regulasi) sebagai penjabaran dari konstitusi yang dianggap sudah baik, ternyata masih ada celah untuk dilanggar melalui aturan perundang-undangan itu, bahkan etika yang sudah memberikan sinyal bahwa itu adalah sebuah pelanggaran toh masih dilanggar, bahkan melanggar secara berjamaah bagi penguasa yang berselingkuh dengan para partai politik. Padahal etika didudukkan sebagai refleksi kritis terhadap moral.
Inilah perpolitikan di Indonesia yang tidak paham etika, tidak paham mekanisme berpolitik, dan kaidah pun dilanggar. Jadi, demokrasi sekarang tergantung kepentingan. Oleh karena itu, sulit memprediksi siapa yang bisa menangkan Pilkada, karena itu demokrasi ditafsirkan sebagai alat penyelesaian masalah, dengan justru demokrasi terbuka di Indonesia sebagai alat pembunuhan hak-hak rakyat, karena didominasi dengan politik uang dan kekuasaan.
Sekarang ini bukan lagi rahasia, bahwa dalam percaturan politik (even demokrasi) di Indonesia, yang sangat menentukan adalah finansial (isi tas) serta tim yang tangguh, jujur, dan bertanggung jawab. Akan tetapi meskipun pengaruh ada jika isi tas tidak ada, jangan berharap untuk lolos, dalam even demokrasi termasuk pada pilkada.
Saat ini uang yang menjadi raja dalam even demokrasi, bukan karena, pengaruh kefiguran, elektabilitas, integritas, kualitas SDM personil calon yang ⁶dituangkan ke dalam Visi Misi itu non sen, tapi yang menjadi penentu adalah uang. Sekarang justru demokrasilah yang membunuh hak-hak rakyat, demokrasilah yang membunuh kedaulatan rakyat, dan demokrasilah yang memancing para kapital (pemilik modal) ikut bermain dalam percaturan politik.
Saya sebagai dosen pernah mengajarkan demokrasi konstitusi, tidak sejalan lagi dengan teori demokrasi yang selama ini diajarkan, bahwa demokrasi diharapkan mampu melindungi hak-hak warga negara, demokrasi diharapkan mampu menyuarakan hak dan kebutuhan rakyat, dan demokrasilah sebagai alat penyelesaian masalah pergantian kepemimpinan, ternyata demokrasi di Indonesia sebagai alat bagi kapital dalam meliberalisasi rakyat untuk menggolkan kepentingannya. Jadi setiap even demokrasi pasti rakyat kufur.
Demokrasi Indonesia yang kita harapkan adalah dengan cara-cara yang beretika, prosedur, mekanisme politik santun, dan tidak bermain Uang dalam pemilihan. Uang hanya digunakan sebagai alat operasional dalam proses demokrasi (kampanye) bukan pada pemilihan dengan membagi-bagikan uang kepada masyarakat dengan harapan sicalon tersebut dipilih, inilah yang dimaksud sogok.
Harapan saya selaku pengamat agar marilah kita sama-sama menyadari bahwa dalam pelaksanaan demokrasi yang merupakan sebuah even dalam rangka memilih pemimpin yang amanah, yang tidak dicederai dengan permainan politik uang, agar pemimpin kita ke depan betul-betul menjadi pemimpin semua rakyat, pemimpin bangsa yang amanah, yang pada akhirnya rakyat akan sejahtera. Janganlah melakukan politik uang dalam even demokrasi, tapi gunakanlah dengan cara hati nurani, berdasarkan syarat- syarat kefiguran/ketokohan, kecerdasan( prestasi ), integritas, elektabilitas, dedikasi, dan tidak tercela. Selamat membaca, semoga bermanfaat. (***)