Catatan Yang Tersisa Dari Dialog Publik : Mau Dibawa Kemana Palopo Kedepan ?

  • Bagikan


* "EPICENTRUM AGRO MARITIM PALOPO SEBAGAI IBUKOTA PENGEMBANGAN KAWASAN TELUK BONE. (Capital of The Development of The Bone Bay Area)

* Oleh : Haidir Basir
(Ketua PPP Kota Palopo


Pada Sabtu, 22 Juni 2024, digelar dialog publik dengan tema "Mau Dibawa Kemana Palopo Kedepan ?" di Warkop Kampis Palopo, yang diprakarsai oleh Badan Pengurus Wilayah (BPW) Kerukunan Keluarga Luwu Raya (KKLR) Provinsi Sulawesi Selatan. Selaku bakal calon wakil walikota Palopo, saya diundang hadiri pada acara tersebut untuk menyampaikan gagasan sebagai kontribusi memperkaya khazanah tema dialog publik itu. Karena waktu sangat terbatas yg disiapkan jadwal dialog tersebut, maka catatan ini dimaksudkan untuk melengkapi gagasan yang ingin saya sampaikan kepada publik Palopo.

Kota Palopo dimasa silam merupakan pusat pemerintahan kerajaan/kedatuan Luwu. Sebagai kota tua dengan segenap nuansa kesejarahan yg dimilikinya, maka oleh pemerintah pusat, Palopo diberikan predikat sebagai kota pusaka. Palopo yg saat ini telah menyandang status kota otonom selama 22 tahun sejak terbitnya undang2 No.11/2002, memiliki luas wilayah 247,52 Km2. Secara topografi, wilayah Palopo berada dalam Tiga Dimensi, meliputi kddawasan perbukitan dataran tinggi, kawasan urban perdataran, serta pesisir dan kelautan, dengan panjang garis pantai 21 kilometer di bibir Teluk Bone. Berdasarkan data BPS 2022, jumlah penduduk kota Palopo sebanyak 190.867 jiwa, yang mendiami 9 kecamatan dan 48 kelurahan. Sejak menyandang status sbg kota otonom, trend perekonomian Palopo dominan bertumpu pada sektor jasa perdagangan dan industri yang ditopang oleh beberapa kabupaten sbg daerah hinterland, khisusnya daerah dilingkup Luwu Raya dan Toraja.

Oleh karena itu, prospek pengembangan dan pembangunan kota Palopo kedepan tidak terlepas dari kondisi topografi tiga dimensi, trendnya sbg kota jasa, nuansa kesejarahan yg melingkupinya serta posisi pesisir Palopo yg terletak di episentrum Agro Maritim kawasan Teluk Bone.
Terkait dengan prakondisi ini, maka setidaknya terdapat 3 program strategis yang relevan dicanangkan untuk memajukan kota Palopo ke depan. Yaitu, Revitalisasi Kawasan Kota Tua Palopo sebagai Kota Pusaka, Pengembangan Wilayah Kota Baru Mandiri, dan Kerjasama Regional Pengembangan Potensi Agro Maritim Kawasan Teluk Bone.

Revitalisasi Kawasan Kota Tua Palopo Sebagai Kota Pusaka

Sebagai kota tua yang di masa silam pernah menjadi pusat pemerintahan kerajaan/kedatuan Luwu, Palopo saat ini diberikan penghargaan dalam bentuk predikat kota pusaka oleh pemerintah pusat. Sebsgai koto pusaka, Palopo hingga saat ini masih memiliki sejumlah bangunan dan lokasi bersejarah yang membuktikan pada masa silam keberadaannya sebagai ibukota kedatuan Luwu. Selain bangunan fisik dan peralatan-peralatan istana kerajaan, Palopo juga memiliki simbol budaya dalam bentuk pakaian adat, seni tari, serta prosesi upacara adat yang kesemuanya itu merupakan warisan peninggalan sejarah zaman kedatuan Luwu dan masa penjajahan bangsa kolonial. Antara lain peninggalan sejarah itu adalah Istana Datu Luwu (Langkanae), lokasi pemakaman raja-raja (Lokkoe), Mesjid Jami Tua, gedung kantor Pos, area Pasar Lama, baju bodo, tarian Pajjaga, upacara Macceratasi', dll.

Untuk mengaktualisasikan predikat sebagai kota pusaka, pemkot Palopo dituntut untuk mencanangkan program strategis revitalisasi kawasan kota tua (lama) Palopo. Program revitalisasi ini tidak lagi dimaksudkan untuk pengembangan wilayahnya, mengingat lahan kota lama/tua sangat terbatas luasnya. Sehingga tidak lagi mampu menerima beban dinamika perkembangan kota. Oleh karena itu, terhadap kawasan kota tua/lama ini perlu dilakukan revitalisasi dalam bentuk rehabilitasi sarana, pemeliharaan bangunan, pelestarian situs lokasi bersejarah, maupun adat istiadat budayanya.

Salah satu bentuk kegiatan dalam program revitalisasi ini adalah rehabilitasi dan pemeliharaan secara kontinyu terhadap kompleks Lalebata, yang merupakan kawasan inti dari kota lama/tua Palopo. Dimana kompleks Lalebata ini meliputi, Istana Datu Langkanae, Mesjid Jami Tua, gedung Kantor Pos, dan lokasi Pasar Lama. Selain itu terdapat beberapa lokasi lain di kawasan kota tua Palopo yg layak tersentuh program revitalisasi ini. Seperti, kawasan pemukiman Tionghoa (Pecinan), lokasi kuburan Belanda, Gereja Tua PNIEL, bangunan Rumah Sakit Anno 1920, dll. Dengan demikian, revitalisasi kota lama/tua ini akan berdampak dan mendorong Palopo menjadi kota pusaka tujuan wisata dan budaya.

Pengembangan Wilayah Kota Baru Mandiri

Sesungguhnya, pengembangan wilayah kota baru mandiri ini dudah diletakkan kerangka dasarnya pada 10 tahun lalu, di masa pemerintahan walikota Palopo, HPA Tenriadjeng. Dimana rencana pengembangan ini dikaitkan dengan topografi Kota Palopo yang terdiri atas tiga dimensi ruang. Yaitu, wilayah perbukitan, wilayah pendaratan, dan wilayah pesisir/perairan laut. Konsep pengembangan wilayah kota baru mandiri ini merupakan jawaban alternatif terhadap keberadaan kawasan kota lama/tua yang kapasitasnya tidak mampu lagi menerima beban dinamika perkembangan kota Palopo untuk mengakomodir sarana usaha, aktifitas bisnis, infrastruktur perkotaan serta prasarana publik lainnya. Sehingga jika dipaksakan akan terjadi kepadatan, kesemrawutan yang pada gilirannya menciptakan kekumuhan, kerusakan lingkungan alam, aksi kriminal dan masalah sosial lainnya.

Secara konsepsional, pengembangan wilayah kota mandiri, vocal point pengembangannya dari arah selatan ke barat daya wilayah Kota Palopo dengan ketersediaan lahan Kawasan Siap Bangun. (kasiba) seluas 32.000 hektar. Mulai dari bukit Lewadang Purangi hingga Latuppa-Mungkajang. Bentangan lahan seluas 32 ribu hektat tersebut sangat representatif untuk dikembangkan menjadi Kawasan Kota Baru Mandiri. Kemudian, diproyeksikan kedepannya, kawasan bukit Minjana dan Tandung akan masuk dalam zona pengembangan wilayah kota baru mandiri. Mengingat kedua kawasan bukit ini tidak termasuk dalam area konservasi hutan lindung. Dalam menindak lanjuti program strategis ini, maka dipandang perlu untuk mempersiapkan secara teknis beberapa hal tetkait rencana detail, Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL).

Kerjasama Regional Pengembangan Potensi Maritim Kawasan Teluk Bone

Teluk Bone merupakan wilayah perairan di pulau Sulawesi yang memiliki potensi maritim yang bernilai ekonomi tinggi, baik sektor perikanan, biota laut, transpotasi laut maupun sektor pariwisata.
Secara geografis, posisi Kota Palopo menjadi Epicentrum Kawasan Teluk Bone terhadap beberapa kabupaten/kota yang mendiami wilayah pesisir teluk ini. yaitu, kabupaten Luwu Timur, Luwu Utata, Kota Palopo. Luwu, Wajo, Soppeng, Bone, Sinjai, Kolaka, Kolaka Utara, dan Kota Kendari. Oleh karena itu, dalam upaya mengoptimalkan potensi pesisir dan kelautan Teluk Bone ini, perlu didorong terbangunnya kerjasama regional pengembangan potensi maritim kawasan Teluk Bone dengan melibatkan ke 12 daerah kabupaten/kota yang wilayahnya masuk kedalam kawasan teluk ini.

Dalam kerjasama ini, posisi kota Palopo sebagai Epicentrum Agro Maritim menjadikannya The Capital Of The Bone Bay Area, harus siap memberikan layanan, baik kepada daerah yg berada didepan maupun layanan bagi daerah yg terkoneksi di belakangnya yakni Toraja yang merupakan Daerah Tujuan Wisata (DTW) Dunia.

Posisi kota Palopo yg juga memiliki sarana pelabuhan Tanjung Ringgit telah berstatus sebagai Pelabuhan Nusantara inilah yang menjadi pintu masuk dalam interkoneksi pengembangan Pariwisata Kawasan Timur Indonesia Segi tiga mas Bali,Toraja, dan Larantuka sebagai tujuan dan poros pariwisata berkelas dunia.

Dalam rangka akselerasi dan efektinya kerjasama regional ini, dibutuhkan pengusulan kepada pemerintah pusat untuk memasukkan Teluk Bone dalam pembuatan Rencana Tata Ruang Regional Kawasan Teluk Bone dan kawasan-Kawasan Pesisir Teluk Bone sebagai sebuah Kebijakan Strategis Pembangunan Nasional.

Pada posisinya sebagai Epicentrum Agro Maritim kawasan Teluk Bone, Kota Palopo yg wilayahya memeliki garis pantai sepanjang 21 kilometer, sangat layak area pesisirnya untuk dibangun dan ditata dengan konsep Water Front City (WFC), yakni model pengembangan dan penataan kota yang berada di kawasan pesisir pantai. Dengan konsep Water Front City ini kawasan pesisir pantai Palopo ditata sedemikian rupa untuk menopang sektor usaha perikanan yang merupakan sumber penghasilan nelayan, sektor pariwisata maritim, dan investasi usaha, seperti budidaya rumput laut serta pertambakan. Konsep WFC tentu saja nantinya menerapkan model "agro maritim", sebagaimana metode yg telah diperkenalkan oleh pihak Bappenas sbg instrumen yg efektif dalam mengelola potensi daratan pesisir dan potensi perairan laut secara terintegrasi.

Dengan demikian, dalam implementasi konsep Water Front City Palopo ini nantinya akan terkoneksi dengan sejumlah sarana publik yang telah terbangun di kawasa pesisir kota Palopo, meskipun ada diantaranya yang fungsinya saat ini belum.optimal. Yaitu, kawasan pergudangan industri Palopo (KIPA) Tellueanua, pelabuhan nusantara Tanjung Ringgit, dan terminal angkutan darat regional Songka.

Untuk memaksimalkan dampak positif dari konsep WFC ini, maka pemkot Palopo dituntut untuk mempersiapkan Revisi Rencana Tata Ruang Kota Palopo dengan memasukan Matra Laut sebagai instrumen untuk mengatur zona-zona pemanfaatan perairan wilayah laut Palopo di kawasan Teluk Bone. Untuk itulah dimaksudkan perlu dilakukan revisi terhadap dokumen rencana tata ruang dan wilayah Kota Palopo yang ada saat ini, dengan mengakomodir masuknya dimensi matra laut selain dimensi matra darat yang sudah ada selama ini.

Demikian penjelasan terhadap catatan yang tersisa dari dialog publik kemarin, semoga catatan ini menggugah inspirasi dan cara pandang kita menatap masadepan Kota Palopo dalam rangka menciptakan Peradaban Baru Kota Palopo yang kita cintai bersama. (*)

  • Bagikan