PALOPOPOS.FAJAR.CO.ID JAKARTA – Pemerintah baru saja mengeluarkan kebijakan tegas: memutus akses internet ke Kamboja dan Filipina. Langkah ini diambil dalam perang melawan judi online yang semakin merajalela. Kebijakan ini, yang mulai berlaku sejak 25 Juni 2024, merupakan tindakan yang tidak boleh diremehkan. Namun, pertanyaannya adalah: Apakah langkah ini cukup untuk mengatasi masalah yang telah meresahkan?
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) di bawah pimpinan Menteri Budi Arie Setiadi layak diapresiasi karena berani mengambil tindakan drastis ini. Data menunjukkan bahwa banyak rumah judi online yang menargetkan pasar Indonesia berasal dari Kamboja dan Davao, Filipina. Dengan memutus jalur koneksi internet ke kedua negara tersebut, pemerintah berharap dapat membatasi ruang gerak para pelaku judi online yang semakin lihai.
Selain itu, Kominfo telah memblokir sekitar 1,9 juta konten judi online sejak 17 Juli 2023 hingga 22 Mei 2024. Menteri Komunikasi dan Informatika, Budi Arie Setiadi, menyatakan bahwa selama periode tersebut, pihaknya juga mengajukan penutupan 555 akun e-Wallet dan 5.364 rekening bank yang terlibat dalam aktivitas judi online. Tidak hanya itu, Kominfo telah melakukan takedown terhadap 18.877 halaman judi yang disisipkan pada situs pendidikan dan 22.714 halaman judi pada situs pemerintah.
Namun, perlu diingat bahwa langkah ini, meskipun signifikan, mungkin belum cukup. Direktur Pengendalian Aplikasi Informatika Ditjen Aptika Kominfo, Teguh Arifiyadi, mengakui bahwa pemutusan akses internet hanyalah satu bagian dari strategi besar. Pelaku judi online, yang dikenal lihai dalam menghindari deteksi, sering menggunakan berbagai cara seperti masking IP untuk mengatasi pembatasan. Oleh karena itu, meskipun tindakan ini mungkin memberikan efek pembatasan, efektivitasnya dalam jangka panjang masih perlu dipertanyakan.
Menurut Teguh, pemutusan akses ini hanyalah bagian dari upaya yang lebih besar. Data menunjukkan bahwa banyak rumah judi online yang menargetkan pasar Indonesia berpusat di Kamboja dan Davao, Filipina. Kominfo juga memastikan bahwa layanan yang berhubungan dengan bisnis dan hubungan luar negeri tetap bisa diakses melalui whitelisting IP, dengan syarat pihak terkait menginformasikan kebutuhan mereka.
Merasuki Parlemen
Langkah cepat pemerintah sangat diperlukan. Data dan fakta seputar judi online sangat mengkhawatirkan. Dalam tiga bulan terakhir, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan angka yang mengejutkan. Di Jawa Barat saja, terdeteksi 535.644 pelaku judi online dengan nilai transaksi mencapai Rp3,8 triliun. Di Jakarta, terdapat 238.588 pelaku dengan nilai transaksi Rp2,3 triliun, sementara di Jawa Tengah, terdeteksi 210.963 pelaku dengan nilai transaksi Rp1,3 triliun.
Pada rapat yang berlangsung Rabu, 25 Juni 2024, Kepala PPATK Ivan Yustiavandana menyampaikan temuan yang mengejutkan. Praktik judi online telah menyusupi lembaga legislatif, baik di tingkat pusat maupun daerah. Lebih dari 1.000 anggota DPR dan DPRD beserta sekretariat jenderalnya, diduga terlibat dalam transaksi judi online. PPATK mencatat 63 ribu transaksi dengan nilai agregat mencapai Rp25 miliar. Angka ini tidak menunjukkan transaksi per individu, melainkan keseluruhan yang bisa mencapai ratusan miliar rupiah.
Data PPATK menunjukkan perputaran uang judi online di Indonesia selama 2022-2023 mencapai Rp517 triliun. Angka ini melibatkan setidaknya 3,3 juta warga Indonesia yang bermain judi online. Pada 2022, transaksi judi online mencapai Rp190 triliun, sementara pada 2023 melonjak menjadi Rp327 triliun. Tahun 2023 saja, volume transaksi judi online mencapai 168 juta dengan nilai Rp327 triliun. Sebanyak 3.295.310 masyarakat melakukan deposit pada situs judi online dengan total Rp34,51 triliun.
Para pelaku judi online menggunakan modus operandi dengan memanfaatkan rekening atas nama orang lain. PPATK mendeteksi setidaknya Rp5,1 triliun yang dikirim ke luar negeri melalui perusahaan cangkang. PPATK juga telah menghentikan sementara 3.935 rekening dengan total saldo Rp160,6 miliar.
Wakil Ketua Komisi III DPR, Pangeran Khairul Saleh, menyebutkan 82 anggota Dewan diduga terlibat judi online. Menurut anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) ini, data tersebut diperoleh dari laporan PPATK usai rapat kerja dengan Komisi III. Namun, Pangeran tidak membeberkan nama-nama anggota DPR tersebut karena PPATK belum memberikan rincian datanya. Ia hanya menegaskan bahwa 82 orang tersebut adalah anggota DPR aktif yang masa jabatannya akan berakhir pada Oktober mendatang.
Situasi ini menunjukkan betapa mendesaknya upaya penegakan hukum dan pengawasan lebih ketat terhadap aktivitas judi online yang semakin merajalela, merusak sendi-sendi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat.
Didominasi Kelompok Rentan
Perputaran uang yang mencapai Rp600 triliun menunjukkan skala besar dari industri judi online. Dari perputaran angka itu, sekitar 80 persen pemain dilaporkan memasang taruhan hanya di kisaran Rp100.000. Angka ini mengindikasikan betapa besar volume perdagangan judi online yang berlangsung.
Dampak ekonomi dari aktivitas ini tidak hanya terbatas pada angka transaksi, tetapi juga mencakup dampak yang lebih luas terhadap kondisi keuangan pribadi dan stabilitas sosial masyarakat. Hal itu berbanding lurus dengan profil pemain judi online kelas receh namun berakumulasi mencengangkan, yang ternyata didominasi ibu rumah tangga, pelajar, pegawai golongan rendah, dan pekerja harian lepas. Gambaran ini jelas mencerminkan bahwa judi online sudah menyasar dan merasuk segmen masyarakat yang rentan.
Seiring dengan itu, judi online sering kali berkaitan dengan kegiatan ilegal lainnya, seperti pinjaman online (pinjol) dan penipuan. Banyak pelaku judi online yang terpaksa mencari pinjaman untuk memenuhi kebiasaan berjudi mereka, mengingat kurangnya modal dari penghasilan legal. Ini mengarah pada siklus utang yang semakin dalam dan memperburuk masalah sosial.
Di sisi lain, gugatan cerai di Pengadilan Agama akibat terdampak judi online kini membludak. Pengadilan Agama Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, menghadapi lonjakan kasus gugatan cerai yang mencengangkan. Ribuan berkas perceraian membanjiri meja pengadilan, semuanya dipicu satu masalah utama: judi online. Menurut Humas Pengadilan Agama Kabupaten Cianjur, Ahmad Yani, sejak Januari hingga Juni 2024, ada 2.368 kasus gugatan cerai, dengan 70 persen di antaranya akibat pasangan yang tidak sanggup menanggung beban utang akibat judi online.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di Cianjur. Di Pengadilan Agama Soreang, Kabupaten Bandung, lonjakan serupa juga terlihat. Humas Pengadilan Agama Soreang, Syamsu Zakaria, melaporkan bahwa dalam periode yang sama, terdapat sekitar 2.800 gugatan perceraian, di mana 20 persen atau sekitar 560 kasus dipicu oleh masalah ekonomi yang ditimbulkan oleh judi online.
Situasi serupa juga terjadi di Pengadilan Agama Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat, dengan 18 kasus gugatan cerai yang berkaitan dengan berbagai bentuk judi. Mulai dari judi ayam, judi gaple, hingga judi online.
Prokontra Solusi Bansos
Fenomena sosial yang semakin memilukan sekaligus memalukan itu mendorong pemerintah mengambil langkah taktis. Melalui Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko-PMK), Pemerintah menawarkan atau lebih tepatnya mengajukan solusi humanis. Muhadjir Effendy selaku Menko PMK, mengusulkan untuk memberikan Bantuan Sosial (bansos) kepada keluarga korban judi online.
Usulan Muhadjir itu tak urung menimbulkan kontroversi baru. Dengan anggaran bansos yang sudah mencapai Rp152,30 triliun pada 2024, penambahan penerima bansos dari kalangan korban judi online berpotensi memperbesar anggaran tersebut. Ini dapat menimbulkan kecemburuan sosial dan memperburuk masalah distribusi bantuan yang sudah ada.
Anggota Komisi VIII DPR RI, Wisnu Wijaya Adiputra, dengan tegas menolak usulan tersebut. Menurutnya, memberikan bansos kepada pelaku judi online dapat memperburuk masalah dengan meningkatkan kecanduan dan menarik lebih banyak orang untuk berjudi. “Mereka tentu akan berpikir, wah enak dong main judi online. Kalau menang dapat uang, kalau kalah dapat bansos,” tegas Wisnu.
Seharusnya, kata dia, Pemerintah ingat bahwa para pemain judi online ini adalah pelaku tindak pidana, bukan korban. Sehingga, tidak harus diberikan bansos.
Gurnadi Ridwan dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) sependapat dengan Wisnu. “Mereka yang terlibat judi online bisa berasal dari kalangan mana saja. Jika mereka dari kelas ekonomi rendah, maka bisa dikategorikan sebagai pelaku tindak pidana, bukan sebagai korban. Harus ada pemisahan jelas antara pelaku dan korban agar tidak terjadi penyalahgunaan anggaran,” tegasnya.
Namun di sisi lain, Anggota Komisi VIII DPR, Ali Taher Parasong, menilai solusi bansos yang diusulkan Muhadjir Effendy bisa menjadi langkah positif jika dilakukan dengan hati-hati. Menurutnya, bansos harus diarahkan untuk membantu rehabilitasi sosial dan ekonomi keluarga yang terdampak judi online, bukan sekadar memberikan bantuan finansial langsung. “Ini harus dilakukan dengan pendekatan komprehensif yang melibatkan berbagai pihak, termasuk lembaga pendidikan dan kesehatan,” ujarnya.
Pemerintah perlu melibatkan banyak pihak dalam mengatasi permasalahan ini. Bukan hanya dengan memutus akses internet, tetapi juga dengan melakukan edukasi yang lebih masif, peningkatan pengawasan, dan penerapan hukum yang lebih ketat. Selain itu, upaya rehabilitasi bagi mereka yang sudah terjebak dalam siklus judi online juga harus menjadi prioritas.
Dengan langkah-langkah yang lebih komprehensif dan berkelanjutan, diharapkan judi online yang telah menjadi ancaman serius bagi masyarakat dapat ditekan dan diatasi dengan lebih efektif. Sebab, tanpa upaya menyeluruh, pemutusan akses internet hanyalah solusi sementara yang mungkin hanya menampar naga tidur. (int)