Oleh : Nurdin (Dosen IAIN Palopo)
Perhatian publik beberapa hari belakangan ini, tertuju pada proses persidangan Pegi Setiawan yang penetapan tersangkanya dianggap tidak sah oleh hakim tunggal Eman Sulaeman, S.H. pada Pengadilan Negeri Bandung melalui mekanisme persidangan Praperadilan.
Akibatnya, Pegi Setiawan pun dikeluarkan dari Rumah Tahanan (Rutan) Polda Jawa Barat berdasarkan perintah hakim Praperadilan. Keluarnya Pegi dari Rutan memunculkan beragam komentar dari para netizen di sosial media.
Kebanyakan dari komentar netizen menyudutkan salah satu institusi penegak hukum, Kepolisian misalnya, yang sedari awal menyelidiki dan menyidik perkara pembunuhan terhadap korban sepasang kekasih, Vina dan Eky di tahun 2016.
Komentar pedas dari netizen tentu kita maklumi sebab tidak semua netizen memahami betul bagaimana bekerjanya hukum acara pidana, kata almarhum Prof. Ahmad Ali bahwa "Hukum hanya dipelajari di perguruan tinggi, itupun hanya pada fakultas hukum saja"
Salah seorang mahasiswa (kelas karyawan) pada salah satu perguruan tinggi ternama di Kota Palopo, bertanya kepada saya dan meminta tanggapan yang katanya, "Bagaimana pendapat atau tanggapan Anda terkait bebasnya tersangka Pegi yang berakibat dikeluarkannya Pegi dari Rutan Polda Jawa Barat"
Saya mencoba memberi jawaban, pemahaman dan tanggapan hukum secara sederhana atas pertanyaan itu. Pertama, semua orang harus tunduk pada putusan hakim pengadilan termasuk putusan hakim Praperadilan tersebut, sebagaimana asas hukum Res Judicata Pro Veritate Habetur, yang berarti apa yang diputus hakim harus dianggap benar dan harus dilaksanakan.
Kedua, di negara manapun di dunia ini, hukum itu adalah penafsiran. Jadi, jangan heran kalau misalnya ada tersangka ataukah terdakwa yang bebas di persidangan pengadilan sebab penafsiran penyidik boleh sama dengan penuntut umum, boleh juga tidak sama, begitu juga dengan hakim pengadilan terhadap penuntut umum.
Ketiga, Praperadilan itu hanya memeriksa keabsahan. Keabsahan penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan kemudian diperluas lagi oleh Mahkamah konstitusi (MK) yaitu keabsahan atau sah tidaknya penetapan tersangka.
Jadi, yang disoal oleh mekanisme persidangan Praperadilan khususnya pada tersangka Pegi Setiawan adalah apakah penetapan tersangka Pegi, sudah sesuai dengan prosedur hukum beracara atau tidak. Rupanya, hakim Praperadilan berpandangan bahwa penetapan tersangka terhadap Pegi Setiawan tidak sesuai dengan prosedur hukum beracara pidana.
Sederhananya, bahwa penyidik dalam menetapkan Pegi Setiawan sebagai tersangka cacat secara formil. Jadi, bukan materi perkaranya (materilnya), boleh jadi Pegi Setiawan adalah pelakunya namun saat penyidik menetapkan dia sebagai tersangka, secara formil ada terlewatkan atau ada yang kurang tepat.
Misalnya, hakim Praperadilan mengatakan bahwa "Pegi Setiawan tidak pernah diperiksa sebagai calon tersangka terlebih dahulu oleh penyidik kemudian ditetapkan sebagai tersangka" Nah, jika sekiranya Pegi Setiawan diperiksa lebih dahulu sebagai calon tersangka, persidangan pada perkara tersebut akan dilanjutkan.
Pertanyaannya kemudian, "Apakah dengan tidak sahnya penetapan tersangka terhadap Pegi Setiawan dapat kembali ditetapkan sebagai tersangka ? Jawabannya "Ya" sepanjang apa yang jadi temuan hakim Praperadilan itu, diperbaiki atau dilaksanakan oleh penyidik Polda Jawa Barat.
Sekali lagi, bahwa mekanisme persidangan Praperadilan itu hanya menyoal terkait formilnya dalam beracara hukum pidana bukan materi perkaranya. Sederhananya, Praperadilan lebih pada kesalahan administrasi saja kalau misalnya setelah semua itu diperbaiki oleh penyidik, maka Pegi Setiawan dapat kembali ditetapkan sebagai tersangka. (*)