Pilgub Sulsel: Kader Parpol vs Kaum Oportunis, Begini Nasihat Akademisi

  • Bagikan

Akademi UnIversitas Mega Rezky Makassar, Dr Baharuddin Hafid.

PALOPOPOS.FAJAR.CO.ID, MAKASSAR-- Pemilihan Gubernur (Pilgub) Sulsel akan menjadi pertarungan tokoh dengan beragam tipe.

Namun, jika dilihat dari perspektif kepartaian, dari nama-nama yang sudah muncul, hanya ada dua tipe calon gubernur dan wakil gubernur di Pilkada Serentak mendatang.

Yang pertama figur-figur cagub dan cawagub yang lahir dari partai politik.

Kelompok ini adalah orang-orang yang selama ini berdarah-darah membesarkan partai. Selain itu, mereka juga dibesarkan oleh partainya.

Untuk tipe ini, di dalamnya termasuk Ketua DPD Partai Gerindra Sulsel, Andi Iwan Darmawan Aras (AIA), Ketua DPW NasDem Rusdi Masse (RMS), Ketua DPD Golkar, Taufan Pawe, Ilham Arief Sirajuddin, hingga Indah Putri Indriani.

Mereka ini, adalah kelompok orang-orang yang bersungguh-sungguh mengawal demokrasi lewat berparpol.

Kerja-kerja politik mereka dalam membangun demokrasi melalui partai masing-masing bisa dilihat publik dengan jelas.

Tipe yang kedua adalah figur-figur non-partai atau kader tapi sama sekali tidak peduli dengan partainya.

Mereka ini kelompok yang cenderung menempatkan partai hanya sekadar sebagai alat dan kendaraan untuk mencapai jabatan atau posisi tertentu.

Yang termasuk dalam tipe ini seperti Andi Sudirman Sulaiman, Danny Pomanto, dan Adnan Ichsan Yasin Limpo.

Mereka cenderung oportunis dan semata-mata hanya mengandalkan kemampuan uang atau jabatan belaka.

Andi Sudirman Sulaiman yang memang bukan kader partai jelas tidak peduli dengan parpol. Yang ia butuhkan hanya rekomendasi dukungan mereka semata.
Sementara Danny Pomanto dan Adnan IYL, mereka sebenarnya merupakan kader partai.

Danny seperti diketahui merupakan kader PDIP. Sementara Adnan bernaung di bawah Golkar.

Hanya saja, kontribusi mereka di partai masing-masing juga hampir tidak terlihat.

Mereka hanya asyik dengan diri sendiri tanpa pernah memikirkan nasib partai, termasuk di pemilihan legislatif. Itu terbukti dari hasil pemilu ketika mereka menjadi kepala pemerintahan.

Danny sebagai Wali Kota Makassar misalnya. Pada pileg 2019, PDIP meraih 8 kursi di tingkat Provinsi, namun pada 2024 jumlahnya turun menjadi 6 kursi.

Kondisi sama terjadi di DPRD Kota Makassar. PDIP hanya mampu meraih 5 kursi, turun satu kursi dibandingkan pileg sebelumnya.

Pada pemilu legislatif 2019, PDIP berhasil mendapatkan 6 kursi. Dengan posisi Danny, capaian partai jelas mengecewakan.

Setali tiga uang dengan Adnan IYL. Dua periode menjabat Bupati Gowa, Adnan yang harusnya bisa menjadi garda terdepan bagi Golkar di wilayah itu, tak bisa menunjukkan taji sebagai kader partai.

Di periode pertamanya sebagai bupati pada 2016–2021, Golkar tak berkutik di Gowa yang di pemilu-pemilu sebelumnya begitu berkuasa.

Pada Pemilihan Legislatif 2019, Golkar yang di 2014 punya 9 kursi dan jadi pemenang malah terjun bebas dan hanya mampu mendapatkan tiga kursi di DPRD Gowa.

Pada saat yang sama, kursi Golkar untuk pemilihan DPRD Sulsel di Dapil 3 yang meliputi Gowa-Takalar juga ambruk. Dari tiga kursi pada 2014 menjadi tinggal satu kursi.

Begitu juga di pemilu 2024, Adnan IYL tak menunjukkan sentuhan yang memuaskan bagi Partai Golkar.

Kursi Golkar di DPRD Gowa berdasarkan pileg 2024 hanya empat biji. Sementara di DPRD Sulsel, Dapil 3 kembali hanya mampu mendulang satu kursi.

Ini jelas jauh dari ekspektasi Partai Golkar. Khususnya karena Adnan IYL tahun ini turut mendapat surat tugas dari DPP Golkar untuk maju di Pilgub.

Menanggapi fenomena ini, Akademi UnIversitas Mega Rezky Makassar, Dr Baharuddin Hafid mengatakan bahwa sebenarnya partai politik bisa dengan sangat mudah menentukan pilihannya di Pilgub.

Alasannya, mereka sudah paham rekam jejak semua kandidat.

"Kalau nasihat saya untuk partai yang sekarang menjadi penentu maju tidaknya mereka-mereka ini, agar melihat rekam jejak korelasi pengusung dan yang diusung. Itu mesti dijadikan salah satu barometer menentukan siapa yang akan diusung," katanya. (*/uce)

  • Bagikan