Oleh : Nurdin (Dosen IAIN Palopo)
Pekan lalu, saya membaca di salah-satu media online yang di dalamnya terdapat komentar atau kritikan kepada penegak hukum khususnya penyidik Kepolisian Resor Palopo oleh salah seorang pegiat atau aktivis perempuan.
Menurut pemberitaan di media tersebut, aktivis perempuan itu sudah dikenal akan vocalnya yang selalu pedis dan jaringan hingga ke pusat. Dia mengkritisi penanganan perkara tindak pidana kekerasan seksual dengan tersangka inisial AA.
Oleh karena aparat penegak hukum setempat (Penyidik Polres Palopo) telah mengalihkan status penahanan tersangka dari Rumah tahanan negara (Rutan) ke Penahanan kota. Aktivis perempuan tersebut mengutip bunyi pasal 23 UU No. 12 tahun 2022 tentang TPKS, bahwa “Perkara tindak pidana kekerasan seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku anak sebagaimana diatur dalam Undang-undang,”
Bagi mereka yang memahami ilmu hukum pidana, baik secara teori maupun praktiknya, tentu dan atau paling tidak akan sependapat dengan saya, bahwa bunyi pasal di atas adalah terkait dengan materinya atau sederhananya berada pada ranah hukum pidana materil.
Hukum pidana materil itu, mengatur tentang siapa yang boleh dihukum, perbuatan apa saja yang boleh dihukum, dan apa sanksinya. Terkait dengan bunyi pasal itu, pembuat UU melarang kasus kekerasan seksual diselesaikan di luar jalur peradilan kecuali pelaku anak.
Sementara, seorang tersangka yang dialihkan status penahanannya dari Rutan ke penahanan kota, hal tersebut masuk dalam ranah hukum pidana formil yang lazim disebut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Hukum pidana formil atau KUHAP, mengatur tentang bagaimana aparat penegak hukum dalam beracara, apa itu penyelidikan, penyidikan, apa itu jaksa, penuntut umum, hakim, kemudian bagaimana jika menangkap, menahan tersangka, bagaimana mengalihkan jenis penahanannya, dan seterusnya.
Pada pasal 22 KUHAP mengatur tentang jenis-jenis penahanan yaitu ; Penahanan Rutan, penahanan rumah, dan penahanan kota. Kemudian untuk pasal 23 ayat (1) berbunyi, "Penyidik atau penuntut umum atau hakim berwenang untuk mengalihkan jenis penahanan yang satu kepada jenis penahanan yang lain"
Jadi, kritik di atas harapan kita mampu menjadi vitamin bagi penegak hukum untuk bisa berbuat lebih baik sebagaimana perundang-undangan yang ada, tetapi akan membingungkan utamanya bagi masyarakat yang tidak pernah belajar ilmu hukum, sebab komentarnya, sepertinya tidak bisa membedakan antara hukum pidana materil dan formil.
Padahal, mestinya dibedakan (karena memang beda), apakah perkara itu diselesaikan di luar jalur peradilan (ranah hukum pidana materil) ataukah status penahanan tersangkanya yang dialihkan (ranah hukum pidana formil).
Nah, ketika seorang penegak hukum, penyidik misalnya, yang menyelesaikan kekerasan seksual di luar peradilan berarti penyidik itu tidak pernah baca buku tentang undang-undang TPKS dan itu jelas melanggar hukum.
Tetapi kalau penyidik mengalihkan status penahanan seorang tersangka, itu merupakan kewenangannya dan dilindungi oleh UU sebagaimana pasal 22 dan 23 KUHAP. Sekarang, di mana letak kekeliruannya yang salah dan melanggar UU apabila pasal 23 UU TPKS berbunyi "Kekerasan seksual tidak boleh dialihkan penahanannya…" lalu kemudian penyidik mengalihkannya.
Sedapat mungkin ketika hendak mengkritisi sesuatu termasuk dalam bidang penegakan hukum tidak apa-apa pedis, tetapi harus betul-betul menguasainya tidak hanya teori saja yang dikuasai melainkan juga harus menguasai praktiknya.
Orang yang hanya menguasai teori tanpa berpraktik, itu sama halnya "Nahkoda yang mengemudikan kapal di lautan tanpa stir dan kompas sehingga akan terdampar dan karam entah di mana" (*)