Gulat Medali Emas Manurung
(Ketum DPP Apkasindo)
SETELAH dua pekan lalu Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan memainkan 'jurus mabuk', hari ini Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menguatkan 'jurus mabuk' itu; merubah Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menjadi Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP).
Tujuan duo menteri ini merubah lembaga yang kini berada di bawah naungan Kementerian Keuangan itu, agar tiga komoditi perkebunan lain; coklat, karet dan kelapa, bisa kecipratan duit. Biar tiga komoditi ini bisa menggeliat, menyusul kesuksesan sawit.
Tak jadi soal sebenarnya menjadi begitu, bila duit yang saban tahun dikelola oleh BPDPKS berkisar antara Rp60 triliun hingga Rp75 triliun itu, bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Yang ada kan, duit sebanyak itu justru bersumber dari Pungutan Ekspor (PE). Gara-gara PE itu diberlakukan, kata Ketua Umum DPP Apkasindo Gulat ME Manurung, harga sawit mereka tergerus antara Rp250 hingga Rp350 per kilogram.
Pemerintah telah sering menyebut bahwa dari total 17,3 juta hektar kebun kelapa sawit di Indonesia, 42 persen adalah milik petani. Ini berarti, ada 7,266 juta hektar kebun sawit petani.
Walau harga setiap kilogram Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawitnya tergerus untuk PE itu, petani tak mempersoalkan lantaran misi utama yang diusung oleh BPDPKS, ada yang ditujukan untuk petani. Katakanlah Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), sarana prasarana, pelatihan dan beasiswa sawit.
Tapi apes, sejak program ini mulai berjalan pada 2016 hingga 2023, duit yang dinikmati oleh petani sawit se-Indonesia dari PE itu untuk PSR cuma sekitar Rp9 triliun, pelatihan dan beasiswa sekitar Rp400 miliar dan sarana prasarana Rp139 miliar. Untuk membikin biodiesel yang kemudian dijual oleh Pertamina, justru telah mencapai Rp162 triliun!
Dan sejak PE ini ada, praktis Direktorat Jenderal Perkebunan, tidak lagi pernah mengalokasikan APBN untuk komoditi sawit. Yang ada malah, duit PE itu juga yang dimanfaatkan oleh direktorat ini untuk kegiatan yang berbau sawit.
Lalu yang masuk ke kocek negara dari sawit, tahun lalu saja devisa mencapai Rp600 triliun. Imbas penggunaan biodiesel, pemerintah mampu menghemat devisa impor sebesar Rp438 triliun dan masih dapat duit pajak hampir Rp15 triliun.
Semua ini belum termasuk pajak jual beli TBS dan CPO di dalam negeri. Soal seperti apa geliat ekonomi di sentra sawit, tak perlu ditanya lagi lah. Luaaar biasa!
Walau sawit sudah mempersembahkan duit sebanyak itu, tapi sampai sekarang semua persoalan di industri ini masih belum terselesaikan.
Mulai dari rendahnya PSR akibat banyaknya kebun yang diklaim dalam kawasan hutan, amburadulnya jalan-jalan produksi, sulit dan mahalnya pupuk, aturan DMO, DPO hingga persoalan mandatori ISPO yang bikin sakit kepala itu.
Di sinilah kemirisan itu menjadi kian terasa, disaat beban sawit telah begitu berat, pemerintah seolah tak mau tahu soal itu. Kegagalan pemerintah mengawal coklat, karet dan kelapa malah coba dibebankan kepada sawit.
Kenapa tidak semua pemasukan negara dari sawit tadi yang dicoceng sedikit saja untuk mengurusi tiga komoditi tadi? Kenapa harus dibebankan ke sawit.
Bukankah pada Undang-undang 39 tentang Perkebunan yang tak pernah punya peraturan pemerintah itu, mulai dari pasal 81 hingga 97, justru pemerintah lah yang paling bertanggungjawab tentang pengembangan perkebunan. Khususnya pasal 93 terkait Pembiayaan Usaha Perkebunan.
Kalau kemudian rencana merubah BPDPKS menjadi BPDP dipaksakan demi mengambil duit PE sawit itu untuk kepentingan tiga komiditi tadi, maka semakin betul lah bahwa sawit telah menjadi 'sapi perah' di republik ini. Tak hanya dari hasil usahanya, tapi juga lahan yang diklaim kawasan hutan. (***mahmuddin)