Oleh : Nurdin (Dosen IAIN Palopo)
Bahlil Lahadalia Ketua Umum (Ketum) Golkar pengganti Airlangga Hartarto menyinggung soal Raja Jawa pada pidato perdananya usai dinobatkan sebagai Ketum partai pohon Beringin itu. Saya menyaksikan dilayar TV, Bahlil menyampaikan pidatonya berapi-api, penuh semangat.
Katanya, "Jadi kita harus lebih paten lagi, soalnya Raja Jawa ini kalau kita main-main, celaka kita. Saya mau kasih tahu saja, jangan coba-coba main-main barang ini. Waduh ini ngeri-ngeri sedap barang ini, saya kasih tahu."
Takut juga mendengarnya, apalagi saya termasuk orang yang tidak paham dunia politik karena memang tidak ada minat untuk lebih dalam mempelajarinya selain itu teringat kata Baba Alun, "Politik itu keras dan kasar". Saya yang menyaksikan pidato itu, deg-degan karena ketidakpahaman ilmu politik.
Apakah itu hanya sebuah strategi dalam berpolitik untuk menakut-nakuti lawan politiknya seperti kata orang tua saya dahulu saat saya masih kanak-kanak apabila pulang dari bermain dan menangis, ibu saya berkata (dalam logat Sulsel) "Bilang memang ka' jangan bergaul dengan dia, na politiki ko itu" Ataukah memang akan menjadi kenyataan.
Negara ini adalah negara berbentuk Republik bukan negara Kerajaan, meski Prof. Jimly Asshiddiqie mengatakan, bahwa "Negara ini negara Republik tetapi rasa Kerajaan" Namun, itu ungkapan yang subyektif dan sangat bergantung perasaan masing-masing warga negara Republik Indonesia.
Saya terus mencoba untuk menggali apa maksud dari ungkapan Bahlil sang menteri ESDM tersebut, soalnya kalau kita membaca sejarah teringat akan masa kepemimpinan Amangkurat 1 (1446-1677). Raja Jawa sang penguasa Mataram, anak dari Sultan Agung.
Sejak menguasai Mataram, Amangkurat 1 berupaya keras mengkonsolidasikan kerajaan Mataram, melakukan sentralisasi pemerintahan dan menumpas semua pemberontakan. Kata Merle Calvin Ricklefs sejarawan, bahwa "Semua program itu dilakukan dengan cara bengis dengan menghabisi para penentang, baik itu di Istana maupun di daerah"
Bahkan baru setahun berkuasa, Amangkurat 1 sang Raja Jawa membunuh panglima perang Mataram, Wiraguna. Di mana Wiraguna pergi bersama pasukannya ke ujung timur Jawa untuk mengusir pasukan Bali. Setibanya di sana, Wiraguna bersama pasukannya dibantai atas perintah Amangkurat 1, tidak berhenti sampai di situ, keluarga Wiraguna bernasib sama.
Pola-pola seperti ini, menurut Ricklefs, membuat orang-orang yang masih hidup sangat ketakutan. Alhasil, mereka mau tidak mau menjadi menurut sekalipun itu dilakukan sangat sulit. Kebengisan Amangkurat I pun makin menjadi-jadi tatkala dia pindah ke istana baru di kawasan Plered.
Di sana (Istana yang baru), Ricklefs menggambarkan istana berdiri sangat megah berdindingkan batu merah, menunjukkan kepermanenan dan kekokohan yang ingin ditunjukkan Amangkurat I di seluruh pelosok kerajaan.
Namun, sekuat dan sebengis apapun Raja Jawa Amangkurat 1 seiring berjalannya waktu, sang Raja yang sudah termakan usia (sudah tua). Akhirnya, dia takluk pada pasukan Madura dibawah pimpinan Raden Trunojoyo pada tahun 1677.
Alhasil, Raja Jawa itu meninggal dalam kesendiriannya dan yang menyedihkan sebab dia ditinggal oleh para loyalisnya, di mana waktu itu dia pergi lagi ke Barat seorang diri. Tetapi, perjalanannya tidak tuntas dan meninggal di tengah jalan, sekitar Wanayasa dan Ajibarang, tulis de Graff.
Lantas, adakah hubungannya sejarah di atas dengan ungkapan Bahlil Lahadalia sang Ketum Golkar tersebut dikaitkan dengan perpolitikan saat ini ? ataukah ada maksud lain ? Entahlah, hanya Bahlil lah yang mengetahui sebab dia yang menuturkannya, berapi-api, penuh semangat, kita yang mendengarkan hanya bisa berprasangka. (*)