Beberapa hari belakangan ini, terjadi demonstrasi diberbagai daerah oleh elemen masyarakat dan juga dari kalangan mahasiswa, bahkan tidak ketinggalan dosen mereka juga turut menyuarakan aspirasinya di jalanan, isunya satu, "kawal putusan MK".
Seperti diketahui, bahwa berunjuk rasa dijamin oleh undang-undang tetapi tentu sesuai dengan apa yang telah digariskan dalam peraturan, misalnya terlebih dahulu memberitahukan kepada pihak kepolisian, kemudian ada batas waktu berunjuk rasa, apa saja yang tidak boleh dilakukan. Semua sudah jelas dalam undang-undang.
Kepolisian yang hadir di situ, ditengah-tengah pengunjuk rasa bertugas untuk melayani atau mengawal agar demonstrasi berjalan dengan lancar, mencegah agar tidak berbenturan dengan kelompok-kelompok lain yang boleh jadi tidak senang dengan aksi demontrasi tersebut. Sehingga, aspirasinya terdengar oleh mereka yang berkepentingan.
Yang menjadi soal, sebab sebagian pengunjuk rasa menganggap kehadiran polisi ditengah-tengah mereka seolah-olah menjadi penghalang. Itu terjadi, karena tidak dipungkiri ada saja sebagian dari mereka datang berunjuk rasa dengan niat merusak fasilitas umum. Katanya, "Kalau tidak seperti itu, suara kita tidak dengar"
Merusak fasilitas umum adalah merupakan perbuatan melawan hukum dan itu jelas dinyatakan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sehingga dengan sendirinya, pelakunya akan berhadapan dengan penegak hukum dalam hal ini pihak kepolisian.
Bila terjadi perusakan fasilitas umum, polisi tidak akan tinggal diam. Polisi akan menghentikannya, dari situlah umumnya bentrokan itu terjadi sebab sebagian pengunjuk rasa, riang gembira ketika merusak sementara aparat tidak akan membiarkannya.
Mereka pun mulai melempari aparat kepolisian yang berjaga di situ. Dan, saya yakin bukan ulah mahasiswa sebab mahasiswa yang senantiasa mendengar apa kata dosennya, tidak akan berbuat anarkis seperti yang sering disaksikan di layar TV.
Mahasiswa tentu pola pikirnya jauh berbeda dengan anak SMA itulah mengapa disebut MAHA-SISWA, mereka adalah agen perubahan yang diharapkan mampu mengubah sesuatu menjadi lebih baik dengan cara layaknya kaum intelektual, bukan dengan menggunakan batu dan api sebab jika hal itu terjadi, artinya kita kembali ke zaman primitif, zaman bahola.
Hampir semua unjuk rasa berakhir dengan anarkis dan dapat dipastikan, penyebabnya berawal dari adanya segelintir orang yang ada ditengah-tengah mereka lebih dahulu melempari aparat dengan batu, bom molotov, dan seterusnya, atau karena melewati batas waktu berdemonstrasi.
Jika demonstrasi terus-menerus anarkis seperti itu. Lantas, masihkah ada demo yang diinginkan, dirindukan ?. Jawabnya "Ya, tentu ada", itulah demo masak-masak yang biasa dipraktikkan oleh ibu-ibu saat pertemuan rutin, misalnya arisan.
Di mana, usai demo masak-masak para pengikut atau peserta bisa langsung menikmati makanan hasil demo, tanpa adanya benturan antara pendemo dengan mereka yang hadir ditempat itu, tetapi demo yang satu ini (demo masak-masak) sudah hampir punah tergerus oleh zaman.(*)