Pilkada Untuk Siapa?

  • Bagikan

Agustan, S.Pd.,M.Pd Dosen Pendidikan Kewarganegaraan IAIN Palopo

BEBERAPA hari terakhir, tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (PILKADA) pasca Pemilihan Umum 2024 menjadi isu hangat ditengah publik. Hal ini disebabkan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PPU-XXII/2024 mengenai ambang batas pencalonan partai politik serta Keputusan Nomor 70/PPU-XXII/2024 mengenai syarat minimum usia calon kepala daerah memperluas peluang bagi masyarakat untuk mencalonkan diri sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, atau Wakil Walikota.

Pada Pasal 7 Ayat (2) huruf e UU No 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota disebutkan bahwa calon gubernur atau calon wakil gubernur berusia paling rendah 30 tahun dan Mahkamah Konstitusi menyatakan persyaratan tersebut harus dipenuhi sebelum penetapan paslon, bukan sejak pelantikan. Pasal 40 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada disebutkan bahwa partai politik atau gabungan partai politik mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dan ketentuan ini hanya berlaku untuk partai politik yang memperoleh kursi di DPRD.

Oleh Mahkamah Konstitusi, pasal ini diputuskan inkonstitusional bersyarat dan MK kemudian menyatakan bahwa persyaratan pengajuan pasangan calon di pilkada berdasarkan perolehan suara sah yang disesuaikan dengan jumlah penduduk yang termuat dalam daftar pemilih tetap (DPT).

Menariknya, satu hari setelah putusan Mahkamah Konstitusi, Badan Legislasi (Baleg) DPR mengajukan revisi Undang-Undang Pilkada. Salah satu pointnya mengatur soal ambang batas pencalonan 20 persen kursi atau 25 persen suara sah bagi parpol untuk mengajukan paslon di Pilkada.

Hal tersebut menimbulkan reaksi dan penolakan dari berbagai kalangan termasuk mahasiswa, buruh, dan akademisi untuk menyampaikan aspirasinya di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan secara umum dilaksanakan di berbagai wilayah yang ada di Indonesia.
Setelah adanya gelombang aksi tersebut, akhirnya Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sepakat untuk menjalankan Putusan Mahkamah Konstitusi soal ambang batas parlemen dan syarat batas usia calon kepala daerah kedalam rancangan perubahan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 8 Tahun 2024.

Kontestasi pilkada sejatinya merupakan wujud implementasi kedaulatan rakyat untuk memberikan kesempatan, kesetaraan bagi daerah untuk memilih pemimpin lokal, di satu sisi untuk memperkuat kedaulatan, serta mendorong partisipasi politik masyarakat yang ada di tingkat daerah baik ditingkat provinsi maupun yang ada dikabupaten/ kota.

Meskipun belakangan ini lembaga tinggi negara menghadapi polemik terkait peraturan perundang-undangan mengenai Pilkada, penting untuk mengingat pesan dari Bapak Mohammad Hatta, Wakil Presiden pertama Indonesia, bahwa demokrasi harus melindungi dan memperjuangkan hak-hak rakyat, bukan hanya menjadi ajang kekuasaan bagi segelintir orang. Oleh karena itu, lembaga tinggi negara, penyelenggara pemilu, media, mahasiswa, dan masyarakat perlu berpartisipasi aktif serta bersama-sama mengawal proses demokrasi, termasuk Pilpres, Pileg, dan khususnya Pilkada. Tanpa partisipasi dari semua pihak, pelaksanaan dan harapan tegaknya demokrasi di Indonesia akan sulit terwujud dengan baik." (*)

  • Bagikan