Sulit Mengakui Kesalahan, Orang Ini Biasanya Punya 7 Pengalaman Saat Kecil Menurut Psikologi

  • Bagikan
--ilustrasi--

Psikologi./Pexels/ Mikhail Nilov

PALOPOPOS.FAJAR.CO.ID, JAKARTA-- Terkadang mengakui kesalahan itu berat. Menurut Psikologi, orang yang sulit mengakui kesalahan sering kali memiliki pengalaman khusus saat kecil yang membentuk sikap tersebut.

Pengalaman masa kecil sangat berpengaruh dalam membentuk karakter dan pola pikir seseorang, termasuk bagaimana mereka menghadapi kesalahan.

Ada berbagai pengalaman yang mungkin dialami seseorang selama masa kanak-kanak yangdapat membuat mereka cenderung menolak untuk mengakui kesalahan ketika dewasa menurut Psikologi.

Dilansir dari Hack Spirit pada Kamis, 5 September 2024, dijelaskan ada tujuh pengalaman masa kecil yang menjadikan seseorang sulit mengakui kesalahan menurut Psikologi.

  1. Orang tua yang terlalu kritis

Tumbuh dengan orang tua yang selalu mengkritik dapat berdampak serius pada perkembangan anak. Setiap tindakan dan keputusan anak diawasi dengan ketat, sering kali mendapat tanggapan negatif alih-alih pujian atas usahanya.

Pengalaman ini dapat menimbulkan ketakutan untuk mengakui kesalahan saat dewasa, karena di masa kecil mengakui kesalahan berarti mendapat teguran keras atau bahkan hukuman.

Akibatnya, mereka cenderung mempertahankan tindakan mereka dengan gigih dan menolak mengakui kesalahan sebagai mekanisme pertahanan diri. Pola ini sering berlanjut hingga dewasa, membentuk kepribadian yang sulit menerima kritik atau masukan.

  1. Persepsi bahwa kesalahan adalah kelemahan

Banyak anak diajarkan bahwa membuat kesalahan adalah tanda kelemahan, bukan kesempatan untuk belajar. Pengalaman seperti ini dapat tertanam kuat, seperti saat seorang anak salah mengeja dalam lomba dan bukannya didorong untuk belajar, malah dianggap gagal besar oleh gurunya.

Pesan yang diterima jelas: kesalahan tidak dapat diterima dan merupakan sesuatu yang memalukan.

Di kemudian hari, ketakutan ini dapat berkembang menjadi ketidakmampuan untuk menerima kesalahan, apalagi mengakuinya. Bagi mereka, ini bukan soal keras kepala, tetapi lebih pada pergulatan dengan kerentanan dan persepsi kelemahan diri.

  1. Kurangnya kesempatan membuat keputusan

Bayangkan tumbuh dalam lingkungan di mana semua keputusan, bahkan yang paling sederhana, diambil oleh orang lain. Anak-anak yang jarang diberi kesempatan untuk membuat keputusan sendiri sering kali tumbuh dengan kurang percaya diri terhadap penilaian mereka sendiri.

Jika terus-menerus diberitahu bahwa mereka tidak mampu membuat keputusan yang baik, mereka mungkin mulai mempercayainya.

Ketika keyakinan ini tertanam dalam, mengakui kesalahan menjadi hampir mustahil karena terasa seperti mengonfirmasi keyakinan negatif tentang diri sendiri yang sudah tertanam dalam.

Resistensi mereka untuk mengakui kesalahan bukan hanya tentang keras kepala, tetapi tentang melindungi harga diri yang rapuh dari kerusakan lebih lanjut.

  1. Tekanan untuk selalu menjadi yang terbaik

Anak-anak yang terus-menerus dituntut untuk menjadi yang terbaik sering kali berada di bawah tekanan luar biasa. Setiap tugas berubah menjadi tantangan, setiap aktivitas menjadi kompetisi.

Fokus bergeser dari belajar dan berkembang menjadi sekadar menang dan mengalahkan orang lain.

Dalam perlombaan untuk menjadi yang terbaik ini, kesalahan dipandang sebagai hambatan, bukan kesempatan belajar.

Ketika anak-anak ini tumbuh dewasa, ketakutan untuk tidak menjadi yang terbaik dapat berubah menjadi ketidakmampuan untuk mengakui kesalahan mereka.

  1. Tumbuh dalam lingkungan “menang-kalah”

Membayangkan hidup di mana setiap situasi dilihat sebagai pertandingan dengan pemenang dan pecundang dapat membentuk pola pikir yang sangat kompetitif.

Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan seperti ini cenderung mengembangkan pandangan hidup sebagai permainan zero-sum - jika mereka tidak menang, berarti mereka kalah.

Pola pikir ini dapat menyebabkan keengganan untuk mengakui kesalahan, karena dalam pemahaman mereka, mengakui kesalahan sama dengan kalah.

Jadi, ketika Anda bertemu seseorang yang sulit mengakui kesalahannya, pertimbangkan: mungkin mereka bukan hanya bersikap sulit, tetapi mungkin mereka hanya mencoba untuk tidak kalah.

Memahami latar belakang seseorang membantu kita berinteraksi dengan mereka dengan lebih banyak kasih sayang dan kesabaran.

  1. Kurangnya dukungan emosional

Bayangkan saat-saat sulit di masa kecil Anda, seperti bertengkar dengan teman baik atau gagal dalam ujian.

Kini bayangkan jika saat-saat sulit itu bukannya mendapat penghiburan, malah disambut dengan sikap acuh tak acuh atau bahkan kritik. Sayangnya, beberapa anak mengalami kurangnya dukungan emosional selama momen-momen paling rentan mereka. Alih-alih belajar cara mengelola perasaan mereka, mereka diajarkan untuk menekannya.

Saat dewasa, hal ini dapat mengakibatkan ketidakmampuan untuk mengakui kesalahan. Bagi mereka, mengakui kesalahan terasa seperti menunjukkan kerentanan - sesuatu yang telah mereka pelajari untuk dihindari dengan segala cara.

  1. Rasa malu atas kesalahan

Ada perbedaan besar antara dikoreksi atas kesalahan dan dipermalukan karenanya. Koreksi mengajarkan kita untuk berbuat lebih baik, sementara rasa malu menanamkan ketakutan untuk mencoba lagi.

Anak-anak yang dipermalukan karena kesalahan mereka tumbuh dengan ketakutan mendalam akan pernah salah.

Ini bukan hanya tentang membuat kesalahan; mereka takut akan penghinaan dan rasa malu yang menyertainya. Jadi, ketika mereka menolak untuk mengakui kesalahan mereka, itu bukan karena kesombongan - itu karena ketakutan. Ketakutan akan rasa malu, ketakutan akan penilaian, dan ketakutan akan penolakan.

Memahami hal ini dapat sangat mengubah cara kita berinteraksi dengan individu-individu seperti itu. (jawapos)

  • Bagikan

Exit mobile version