Oleh : Nurdin (Dosen IAIN Palopo)
"Dalam hal pelaksanaan tugas, tidak ada anak buah yang salah kalau ada kekeliruan di dalamnya, maka yang keliru adalah atasannya sebab sejatinya seorang pemimpin hanya mengambil tanggung jawab selebihnya buat mereka yang dipimpinnya"
Kalimat di atas sering saya dengar dari bekas anak buah yang baik, yang saat ini sudah menjadi pemimpin yang baik. Oleh karena, menurutnya tidak jarang seorang pemimpin jika terjadi sesuatu dilingkungan kerjanya, tidak mau mengambil risiko malah sebaliknya menimpakan semua kesalahan itu kepada anak buahnya.
Kepemimpinan yang baik dan bijak, banyak dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw. Satu di antaranya yang paling populer, usai perang Ahzab atau yang lebih dikenal dengan perang Khandaq, di mana waktu itu para prajurit sudah melepaskan baju perangnya bersiap mengambil air wudhu untuk kemudian melaksanakan shalat Ashar.
Nabi Muhammad Saw, memberi arahan kepada mereka bahwa shalat Ashar dilakukan di perkampungan Bani Quraizha. Sabda beliau, "Janganlah sekali-kali kalian shalat Ashar kecuali di Bani Quraizha" mendengar itu, para prajurit bersiap untuk berangkat.
Di tengah perjalanan, para prajurit melihat matahari terus merangkak perlahan-lahan ke ufuk barat pertanda akan tenggelam. Matahari sebentar lagi akan berwarna merah saga. Jika shalat Ashar dikerjakan sesuai arahan Nabi Saw, dapat dipastikan telah masuk waktu Maghrib.
Sementara, perkampungan Bani Quraizha masih sangat jauh, para prajurit pun bingung dan suasana menjadi hiruk-pikuk, perdebatan di antara mereka pun terjadi, "Di mana kita harus mengerjakan shalat Ashar ini. Bila dikerjakan di sini, melanggar perintah Nabi Saw. Tetapi, bila dikerjakan di perkampungan Bani Quraizha khawatir waktu telah lewat"
Akhirnya, mereka mengambil pemahaman sendiri-sendiri sebagian dari mereka shalat di tengah perjalanan, sebagian lagi shalat pada saat tiba di perkampungan Bani Quraizha. Lantas, bagaimana reaksi Nabi Saw ketika mengetahui hal itu ?
Nabi Muhammad Saw sama sekali tidak marah atau menyalahkan prajuritnya. Beliau memahami, bahwa di tengah masyarakat akan mempunyai pemahaman yang berbeda-beda atas suatu ucapan dan permasalahan.
Keragaman pendapat tersebut adalah sesuatu yang wajar dan alami. Karena itu, beliau tidak menyalahkan siapa pun di antara mereka, tidak mengecam siapa pun apalagi sampai mengkafirkannya. Perbedaan adalah suatu keniscayaan, sebagaimana Tuhan menciptakan Adam dan Hawa bukan Adam dan Adam atau Hawa dan Hawa.
Seperti halnya Al-Farabi dalam buku Filsafat Islam yang ditulis oleh Dr. Maududi beliau mengatakan, bahwa "Kebenaran itu hakikatnya hanya satu, perbedaan hanya lahirnya saja" artinya bahwa yang berbeda terletak pada penafsiran satu dengan yang lainnya.
Demikianlah pemimpin yang baik dan bijak, yang mestinya menjadi contoh teladan bagi seorang pemimpin dalam kepemimpinannya. Tidak lantas menyalahkan orang lain bila terdapat perbedaan ataukah kekeliruan yang dilakukan oleh mereka yang dipimpinnya. (*)