Oleh : Nurdin (Dosen IAIN Palopo)
Saya pernah membaca sebuah ungkapan orang China yang setidaknya menurut saya, menarik untuk dikaji lebih jauh makna dari kalimat itu, "Menembak banyak belum tentu penembak yang baik, dan berbicara banyak belum tentu pembicara yang baik"
Secara sederhana, pemahaman saya bahwa mungkin saja sang pengungkap kalimat itu ingin memberitahu kepada para pembacanya, "Orang yang banyak bicara, belum tentu yang diucapkannya adalah sebuah kebenaran bisa jadi seperti tong kosong nyaring bunyinya"
Lain halnya dengan mereka yang memilih untuk lebih banyak diam. Terkadang diamnya itu digunakan untuk mendengarkan ocehan kosong lawan bicaranya. Sebab dapat dipastikan, semakin seseorang berbicara banyak cenderung kebohongannya lebih banyak pula.
Dari ungkapan orang China di atas, teringat akan sebuah tulisan guru saya yang di dalamnya digambarkan bagaimana seorang murid meminta nasihat kepada gurunya; si murid begitu kagum dengan kehebatan salah seorang gurunya, bahkan sampai mengidolakannya.
Dan, suatu ketika dia mendatangi gurunya yang dikenalnya sebagai dai kondang dan penulis yang produktif untuk meminta nasihat. "Ajari aku, agar aku memiliki kemampuan untuk berceramah seperti bapak" demikian pintanya.
Sang guru dengan kesederhanaan penampilannya termanggut-manggut sejenak, kemudian dengan kesantunan tutur katanya, dia berkata, "Seseorang bisa berbicara karena dia mampu mendengar, maka belajarlah menjadi pendengar yang baik kelak kamu akan menjadi pembicara yang baik" lalu kemudian si murid bertanya lagi "Wahai guru, ajari aku, agar aku bisa aktif menulis sehingga mampu menghasilkan karya tulis seperti bapak"
Sang guru yang mendengar permintaan si murid, menasihati "Seseorang bisa menulis karena dia mampu membaca, maka perbanyaklah membaca kelak kamu akan pandai menulis" si murid begitu gembira dengan dua nasihat dari gurunya.
Dia pun bermaksud meminta nasihat ketiga, keempat, dan seterusnya. Namun, keinginannya itu tertahan oleh kesadarannya, bahwa "Dua nasihat guru sebelumnya belum dilaksanakan, kenapa memaksakan diri meminta nasihat yang ketiga"
Sejenak si murid tertegun dan perlahan menyadari, bahwa dirinya terlalu rakus meminta nasihat, namun malas mengamalkan nasihat yang telah didapatkannya. Sehingga saya yang membaca tulisan guru saya tersebut juga sadar, bahwa perlu lebih banyak mendengar dan lebih banyak membaca.
Tujuannya, ya paling tidak, saya tidak dianggap asal ngoceh oleh kawan sejawat yang jika dianalogikan token listrik, semakin sedikit isinya, semakin berisik dan atau seperti air sungai, semakin dangkal sungai itu, airnya akan terpercik ke mana-mana. (*)