Oleh: Muh. Zulkifli, Akademisi IAIN Palopo
Dalam beberapa waktu terakhir, perdebatan mengenai kabinet gemuk yang diusung oleh pemerintahan Prabowo semakin menjadi sorotan publik. Kabinet yang terdiri dari puluhan menteri dan jabatan baru ini menuai pro dan kontra. Namun, jika ditinjau secara kritis, kabinet gemuk justru membawa risiko yang besar bagi stabilitas fiskal dan ekonomi Indonesia.
Pertama, dari perspektif fiskal, memperbesar struktur kabinet jelas menambah beban anggaran negara. Setiap posisi baru dalam kabinet tentu diiringi oleh tunjangan, fasilitas, hingga pengeluaran rutin yang membebani APBN. Dalam situasi di mana Indonesia masih berjuang untuk keluar dari dampak pandemi dan tantangan ekonomi global, alokasi anggaran yang semakin besar untuk birokrasi pemerintahan terasa tidak bijak. Fokus utama seharusnya diarahkan pada program pemulihan ekonomi dan pengentasan kemiskinan, bukan pembengkakan birokrasi.
Selain itu, kabinet gemuk juga berpotensi memperlambat pengambilan keputusan. Dengan semakin banyaknya aktor dalam pemerintahan, proses koordinasi akan menjadi lebih rumit. Hal ini akan memperpanjang rantai birokrasi, memperlambat implementasi kebijakan, dan memperburuk efektivitas pemerintahan dalam menangani masalah-masalah yang krusial. Efektivitas pemerintahan yang terhambat pada akhirnya akan berdampak negatif pada stabilitas ekonomi, terutama dalam hal penanganan krisis.
Dalam konteks jangka panjang, kebijakan kabinet gemuk ini juga menambah risiko ekonomi. Sejumlah negara yang pernah mengadopsi pola serupa menunjukkan bahwa birokrasi yang terlalu besar sering kali cenderung korup dan tidak efisien. Indonesia sudah lama berjuang melawan praktik korupsi dalam birokrasi, dan memperbesar kabinet hanya akan memperburuk situasi. Ketika pemborosan anggaran dan korupsi meningkat, daya saing ekonomi akan tergerus, investor akan enggan menanamkan modal, dan pada akhirnya perekonomian nasional akan terdampak.
Solusi yang lebih ideal bagi Indonesia saat ini adalah pemerintahan yang ramping namun efektif. Pemerintahan yang fokus pada reformasi struktural, efisiensi birokrasi, dan penghematan anggaran dapat memperkuat ekonomi dalam jangka panjang. Alih-alih membentuk kabinet besar yang hanya memberikan kepuasan politik jangka pendek, Prabowo harus lebih mengutamakan kebijakan yang mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan kesejahteraan rakyat.
Kabinet gemuk bukanlah solusi, melainkan sumber masalah baru yang berpotensi memperparah kondisi fiskal dan ekonomi Indonesia. Jika kebijakan ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin Indonesia akan menghadapi krisis ekonomi yang lebih besar di masa depan.
Lebih jauh, kabinet gemuk yang dibentuk di bawah kepemimpinan Prabowo menimbulkan pertanyaan serius tentang prioritas politik dibandingkan dengan kebutuhan ekonomi. Kabinet yang besar sering kali digunakan sebagai alat politik untuk mengakomodasi berbagai kepentingan partai koalisi, sehingga mempertahankan stabilitas politik internal. Namun, risiko terbesar dari pendekatan ini adalah bahwa keefektifan pemerintahan menjadi terabaikan. Jabatan-jabatan baru bisa jadi hanya akan diisi oleh orang-orang yang dipilih karena loyalitas politik, bukan kompetensi. Hal ini tentu saja akan menurunkan kualitas tata kelola pemerintahan dan bisa berakibat fatal pada implementasi kebijakan ekonomi yang lebih tepat sasaran.
Selain itu, kondisi ini juga membuka peluang munculnya persaingan kekuasaan antar kementerian atau lembaga yang bisa memperlambat pengambilan kebijakan strategis. Alih-alih mempercepat pemulihan ekonomi dan meningkatkan daya saing nasional, kabinet gemuk justru bisa menciptakan situasi di mana inefisiensi dan konflik kepentingan merajalela, menghambat pencapaian target pembangunan yang telah dicanangkan.
Dari perspektif global, pembengkakan birokrasi dan inefisiensi pemerintah adalah indikator buruk bagi iklim investasi. Investor global kerap melihat stabilitas politik dan ekonomi, serta kualitas tata kelola pemerintah, sebelum memutuskan untuk menanamkan modal di suatu negara. Dengan kabinet yang membengkak, sinyal yang dikirimkan kepada dunia luar adalah Indonesia belum siap untuk menjalankan pemerintahan yang efisien dan pro-investasi. Ini tentu saja akan menggerus kepercayaan internasional terhadap Indonesia sebagai tempat investasi yang stabil.
Dalam situasi ekonomi global yang semakin tidak menentu—dengan ancaman resesi, ketegangan geopolitik, dan krisis energi—Indonesia harusnya lebih berhati-hati dalam mengelola kebijakan fiskal dan ekonomi. Memperbesar kabinet dengan alasan menjaga stabilitas politik domestik tidak sebanding dengan risiko yang bisa ditimbulkan, terutama jika pertumbuhan ekonomi melambat atau krisis keuangan global semakin parah. Pada akhirnya, rakyatlah yang akan menanggung beban jika fiskal negara terkuras habis untuk membiayai birokrasi yang terlalu besar dan tidak produktif.
Prabowo perlu menyadari bahwa kabinet yang besar bukanlah simbol kekuatan, melainkan potensi kelemahan yang menggerus efisiensi pemerintahan. Jika reformasi struktural tidak segera dilakukan dan kabinet terus membengkak, maka fondasi fiskal Indonesia akan semakin rapuh, dan risiko ekonomi yang dihadapi akan semakin besar. Inilah saatnya bagi pemimpin untuk mengedepankan kebijakan yang cermat, berorientasi pada hasil, dan menghindari godaan untuk memperbesar kekuasaan melalui birokrasi yang tidak efisien.
Kabinet gemuk yang digagas Prabowo bukan hanya berpotensi menguras anggaran negara, tetapi juga menambah risiko bagi stabilitas ekonomi jangka panjang. Pemotongan anggaran untuk birokrasi yang tidak efisien, perampingan kabinet, serta fokus pada penciptaan kebijakan-kebijakan yang produktif dan pro-rakyat harus menjadi prioritas utama. Indonesia tidak butuh kabinet yang besar; Indonesia butuh kabinet yang efektif, transparan, dan berorientasi pada kepentingan nasional.