Oleh: Dr. Syahiruddin (Pengamat Politik dan Kebijakan Publik Unanda Palopo)
DEBAT pasangan calon Wali Kota Palopo sebentar lagi dihelat. Tentunya, 'perang' program unggulan disertai dengan dalil-dalil yang bisa meyakinkan masyarakat Kota Palopo.
Tentu, harapan masyarakat bagaimana dengan debat itu dapat mencetuskan program yang memihak ke masyarakat. Bukan hanya sekadar 'jualan politik' untuk memantik dan menyulut rasa dan akal pemilih dan pada akhirnya mereka dipilih pada Pesta demokrasi lima tahunan 27 November 2024 mendatang. Tetapi, lebih dari itu, bagaimana nantinya bisa direalisasikan.
Makanya debat pasangan calon ini tentu sangat ditunggu-tunggu masyarakat. Karena, kalau selama ini kampanye dilakukan secara monolog, maka kali ini mereka akan saling membedah program dengan pertanyaan-pertanyaan kritis dari rival mereka dan panelis yang tidak keluar dari aturan main.
Yah, mereka akan saling 'menguliti' kalau ada programnya yang asal-asalan apalagi kalau tidak memihak kepada masyarakat. Di sini, pemilih akan melihat langsung program-program apa yang bisa 'menolongnya' keluar dari masalah yang selama ini 'mengurungnya'.
Hanya saja, debat pertama yang sangat dinanti-nanti masyarakat Kota Palopo ternyata akan dilaksanakan di Makassar, Ibukota Sulawesi Selatan, Kamis, 31 Oktober 2024.
Pelaksanaan venua debat ini tentu banyak mendapatkan pertanyaan. Kenapa mesti di Makassar. Kenapa bukan di Palopo yang notabene pemilihnya nanti di Kota Palopo.
Karena, kalau alasan keamanan, ada dari pihak kepolisian dan TNI. Begitu juga ada anggaran pengamanan yang jumlahnya cukup besar. Jangan sampai masyarakat menilai lain. Jangan sampai terkesan menjual kucing dalam karung. Dan, ini menggunakan anggaran yang besar.
Juga terkesan akal-akalan yang bakal menghabiskan anggaran negara dan tidak efektif. Masyarakat menginginkan agar debat calon wali kota/wakil wali Kota Palopo dilaksanakan di Kota Palopo saja.
Apakah ini sudah didiskusikan dengan para kandidat? Dan, ini dianggap sangat-sangat tidak menghargai publik sebagai subyek. Malah dianggap publik sebagai obyek saja.
Nah, kalau demikian yang terjadi, maka debat bukan menjadi harapan bagi publik. Masyarakat bisa berfikir bahwa tidak perlu debat Cawalkot. Kenapa? Karena, tidak dihargai kita punya suara untuk menentukan siapa pilihannya. Sehingga ini rawan untuk bermain jual beli suara. Juga rawan terjadi penurunan tingkat partisipasi masyarakat dalam Pilwalkot alias Golput. Harusnya, KPU harus mampu memberikan edukasi ke masyarakat.
Publik juga ingin mengetahui sejauh mana sosialisasi UU KPU di masyarakat. Apakah sudah merata? Jangan sampai juga terkesan bermain dalam anggaran. Publik merasa belum tahu penjelasan UU KPU, apa sudah tersosialisasi dengan baik dan merata dan masif?
Seperti kita ketahui bahwa anggaran penyelenggaraan Pemilu / Pilkada Palopo sebesar kurang lebih Rp25 miliar dari seluruh institusi terkait. Maka, selayaknya memang publik mempertanyakan semua secara transparan penggunaan anggaran Pilwalkot dengan program-programnya.
Harapan masyarakat agar semua institusi penyelenggara pemilihan kepala daerah agar betul-betul memaksimalkan perannya dalam pelaksanaan pilkada dengan menggunakan anggaran yang tersedia secara efektif dan efisien. Dan, tak kalah pentingnya memberi edukasi masyarakat baik Undang-undang Pilkada, maupun pelarangan melakukan politik uang. Karena, jangan sampai masyarakat menganggap pembiaran dan buntut-buntutnya menghabiskan anggaran dengan hasil yang tidak berkualitas.
Meski begitu, kita berharap supaya KPU bisa melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik. Kita berharap, sosialisasi terus dilakukan sampai hari pencoblosan. Karena, ini adalah agenda nasional, tentunya akan 'dirayakan' dengan penuh kedamaian dan keamanan terjaga selalu. Masyarakat bisa 'berpesta' dengan damai, aman, dan tertib. Ujung-ujungnya, masyarakat dapat merasakan pesta demokrasi ini sesuai dengan ekspektasinya, yakni pasangan calon yang terpilih nantinya bisa melaksanakan visi misi dan program-programnya sesuai yang ditebarkan. Dan, endingnya, masyarakat sejahtera. Aamiin.(*)