Ijazah Palsu, Perspektif Hukum Pidana

  • Bagikan

Oleh : Nurdin (Dosen IAIN Palopo)

Usai pendaftaran calon Walikota dan Wakil Walikota Palopo, ramai dibicarakan tidak hanya di sosial media (grup WhatsApp), tetapi juga di warung-warung kopi bahkan hampir semua pemberitaan online, terkait penggunaan (menurut pemberitaan) ijazah palsu.

Selain menghindari debat yang tidak berkesudahan (debat kusir) juga karena khawatir dituduh tidak netral, sehingga lebih baik untuk tidak mengomentari percakapan teman, baik di warkop maupun di grup-grup WhatsApp.

Sebab memerhatikan kondisi saat ini, apa pun omongan kita, meski itu ranah hukum semua dibawa ke ranah politik (dipolitisasi). Padahal, politik dan hukum adalah dua disiplin ilmu yang berbeda. Ilmu hukum memiliki tujuan yang jelas sementara politik, hari ini A, satu dua jam kedepan boleh saja menjadi B bahkan Z.

Lantas, bagaimanakah pemalsuan ijazah itu jika dilihat dari sudut pandang hukum pidana ? Di dalam hukum pidana, roh dari pemalsuan surat di semua tindak pidana termasuk UU Pemilihan, ada pada pasal 263 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang kemudian dijelaskan panjang lebar oleh para ahli hukum pidana (doktrin) di berbagai literatur.

Merujuk pada pasal 263 KUHP dan juga doktrin, bahwa yang dikatakan pemalsuan surat (termasuk pemalsuan ijazah) hakikatnya hanya ada dua. Pertama, membuat surat palsu. Kedua, memalsukan surat. Membuat surat palsu adalah surat itu semula tidak ada, lalu dibuat ada (surat tidak ada, diadakan).

Kemudian memalsukan surat, maknanya; surat itu ada, tetapi isi dari surat itu ditambah atau dikurangi sehingga isinya menjadi lain dari surat yang asli. Nah, yang dipidana dari kedua penjelasan di atas adalah orang yang membuat surat palsu dan atau orang yang memalsukan surat.

Lalu bagaimana dengan orang yang menggunakan surat palsu ? unsur atau elemen penting selain eleme lainnya yang harus terpenuhi bagi siapapun yang menggunakannya, yaitu pelaku harus dengan sengaja menggunakan surat itu.

Dan untuk mengetahui unsur atau elemen dengan sengaja dalam konteks pemalsuan surat, paling tidak pelaku harus dapat menduga atau mengetahui bahwa surat yang digunakannya adalah surat palsu. Jika, pelaku tidak mengetahui kalau surat yang digunakannya itu ternyata palsu. Maka, pelaku tidak dapat dipidana.

Oleh karena tidak ada kesalahan pelaku, yang dalam hukum pidana dikenal dengan asas "Gen straf zoonder schuld" (tidak ada pidana tanpa kesalahan). Kalau mengikuti persidangan di pengadilan sampai tuntas, asas itu tidak akan asing lagi ditelinga sebab sering kali diucapkan oleh hakim di dalam persidangan.

Sederhananya, bahwa siapapun tidak boleh dipidana tanpa suatu kesalahan, namanya "Gen straf zoonder schuld". Dan selain asa ini, dalam hukum pidana juga dikenal dua alasan sehingga seseorang tidak dapat dipidana; Pertama, alasan pembenar dan kedua, alasan pemaaf.

Yang dimaksud dengan alasan pemaaf adalah pelaku telah melakukan suatu tindak pidana (dapat dibuktikan perbuatannya berdasarkan hukum), tetapi tidak dipidana. Oleh karena, kesalahan pelaku dimaafkan, sebab disitu dianggap tidak ada kesalahan, meski perbuatannya tetap merupakan perbuatan yang sifatnya melawan hukum.(*)

.

  • Bagikan