Memento Mori

  • Bagikan

Oleh : Nurdin (Dosen IAIN Palopo)

Kalau sekiranya pembaca tulisan ini senang dengan bacaan filsafat, maka judul di atas tentu sesuatu yang tidak asing lagi baginya, "Memento Mori" adalah sebuah konsep dalam filsafat Stoikisme selain prinsip dasar "Dikotomi kontrol" yang dikenalkan oleh filsuf Zeno.

Memento Mori atau mengingat kematian, bukan berarti hidup dalam ketakutan akan kematian, tetapi bagaimana kemudian kita menyadari bahwa hidup di muka bumi ini sangatlah terbatas, sehingga perlu melakukan hal-hal bijak di setiap momen yang ada.

Para da'i juga senantiasa mengingatkan jamaahnya, bahwa "Orang-orang cerdas itu, adalah mereka yang senantiasa mengingat kematian", dengan harapan kita akan selalu fokus pada perbuatan yang memberi manfaat bagi sesama ciptaan-Nya. Bukankah sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesamanya ?

Lalu bagaimana dengan "Dikotomi kontrol" sebagai prinsip dasar dari ajaran filsafat Stoikisme ? Kehidupan modern saat ini, tidak dipungkiri banyak hal yang membuat kita cemas. Padahal, kecemasan-kecemasan yang timbul sesungguhnya berada di luar kendali kita, yang mestinya tidak perlu dirisaukan.

Oleh karena, bila hal-hal yang berada di luar kendali sangat dikhawatirkan, tentu akan menjadi beban psikologis bagi kita dan akan menjadi masalah yang seharusnya tidak menjadi soal seperti kata Gus Dur, bahwa "Masalah yang rumit dan masalah yang bisa diselesaikan, keduanya tidak perlu dipikirkan"

Yang perlu difokuskan untuk menghadapi tantangan zaman saat ini adalah apa yang saja yang bisa kita kendalikan misalnya, sikap dan reaksi kita terhadap sesuatu. Sementara, pendapat atau opini orang lain, kesuksesan karier, dan pencapaian materi. Ketiga hal itu, berada di luar kendali.

Dan untuk menyikapinya adalah dengan berlapang dada, yang dalam ajaran filsafat Stoikisme dikenal dengan sebutan dikotomi kontrol atau pemisahan terkait apa yang bisa dikendalikan dan apa yang tidak bisa kita kendalikan.

Epictetus, salah seorang filsuf terkemuka penganut filsafat Stoikisme menekankan, bahwa sumber dari penderitaan kita seringkali berasal dari keinginan untuk mengendalikan keinginan atau hal-hal yang tidak bisa kita ubah atau kendalikan.

Kita umumnya terjebak dalam mengejar kebahagiaan yang berasal dari luar diri kita. Kesuksesan karir dan pujian dari orang lain menjadi tolak ukur kebahagiaan. Namun apa yang akan terjadi jika kita tidak berhasil mendapatkan hal hal tersebut ? Kekecewaan, rasa tidak puas, dan bahkan depresi bisa menghampiri kita.

Sederhananya, untuk mengatasi kecemasan dan tekanan sosial ditengah perkembangan zaman, maka mestinya kita fokus pada apa yang bisa kita kendalikan. Sementara apa saja yang tidak bisa kita kendalikan, kita berlapang dada untuk menerimanya agar tidak membebani pikiran.

Pencapaian materi, apa kata orang (opini orang) dan pencapaian karier, ketiganya merupakan tantangan di masa kini yang tidak mesti menjadi target untuk mencapai kebahagiaan, sebab hal itu merupakan kebahagiaan eksternal yang berada di luar kendali kita. Kebahagiaan sejati akan datang ketika berhenti memikirkan hal-hal tersebut.

Untuk itu, sedapat mungkin memfokuskan pada apa yang bisa kita kendalikan seperti reaksi kita terhadap sesuatu jangan berlebihan, sebab dibalik kesusahan (persoalan) ada kemudahan, dan semua itu mengajarkan kita untuk bagaimana menemukan kedamaian dalam diri kita sendiri. Ingat, hidup ini dalam kendali bukan dikendalikan.(*)

  • Bagikan