PALOPOPOS.FAJAR.CO.ID, Hary Zulficar, SH, MH, Komisioner sekaligus Koordinator Divisi Hukum dan Pengawasan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Palopo, menyampaikan dissenting opinion atau perbedaan pendapat terkait keputusan yang diambil KPU Palopo dalam menindaklanjuti rekomendasi dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Menurut Hary, meskipun keputusan di KPU bersifat kolektif-kolegial, dinamika dalam pengambilan keputusan sering kali tidak terhindarkan, terutama pada kasus tertentu.
“Dissenting opinion biasanya muncul ketika terjadi perbedaan pandangan hukum, di mana setiap orang memiliki perspektif yang beragam dalam menafsirkan suatu permasalahan berdasarkan fakta dan ketentuan hukum,” jelas Hary Zulficar Komisioner KPU Palopo kepada FAJAR Rabu 06 November 2024.
Ia menekankan bahwa dissenting opinion yang ia buat dilandasi telaah hukum sebagai Koordinator Divisi Hukum dan Pengawasan, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Ia menjelaskan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, Bawaslu memiliki kewenangan memeriksa dugaan pelanggaran administrasi pemilihan.
“KPU wajib menindaklanjuti rekomendasi Bawaslu tanpa melakukan pemeriksaan substansi dugaan pelanggaran administrasi lagi,” tegasnya.
Hary menyatakan bahwa KPU hanya melakukan telaah hukum atas rekomendasi tersebut dan membawa hasil telaah ini dalam rapat pleno sesuai PKPU Nomor 15 Tahun 2024.
Dalam dissenting opinion-nya, Hary menilai keputusan KPU Palopo perlu mengikuti rekomendasi Bawaslu Palopo, termasuk mencabut berita acara pleno nomor 337 tentang perubahan status bakal calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Palopo tahun 2024, serta mengubah surat keputusan nomor 339 tahun 2024 tentang penetapan calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Palopo.
Ia juga menekankan bahwa kandidat yang merasa dirugikan memiliki opsi lain untuk menempuh upaya hukum, seperti mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung (MA) guna memperoleh putusan hukum tetap. Langkah ini, menurutnya, berada di luar kewenangan KPU dan merupakan hak kandidat memperjuangkan kepentingannya melalui jalur hukum.
“Bukan KPU yang harus inisiatif ke pihak yang berwenang menindaklanjuti rekomendasi Bawaslu, itu keliru menurut saya. Dalam memandang hukum, pasti setiap orang memiliki pandangan yang berbeda,” ungkapnya.
Ia menambahkan, Pasal 133 ayat 1 dan 2 Peraturan PKPU nomor 8 tahun 2024 digunakan pada saat pendaftaran pasangan calon. “Pasal 133 yang saya maknai adalah turunan dari Pasal 130, 131, dan 132 sehingga muncul Pasal 133. Pasal 130 itu terkait pelaksanaan ketentuan pendaftaran,” jelasnya.
Hary menjelaskan, pasal tersebut mengatur proses pendaftaran calon, masa perbaikan, masa administrasi, serta masa verifikasi. Menurutnya, yang dimaksud Bawaslu adalah temuan terkait adanya persyaratan pencalonan yang tidak dipenuhi salah satu calon.
“Itu rekomendasi, kita tidak lagi membahas soal surat tanda tamat belajar, bukan soal sah atau tidaknya ijazah, tapi soal temuan Bawaslu tentang adanya unsur syarat pencalonan yang tidak dipenuhi salah satu calon,” tandasnya.
Sementara itu, Ketua KPU Palopo, Irwandi Djamudin, menjelaskan bahwa Pasal 133 ayat 1 Peraturan PKPU nomor 8 tahun 2024 menyatakan aduan atas dugaan ketidakbenaran ijazah di semua jenjang pendidikan terhadap pasangan calon kepala daerah setelah penetapan harus dilanjutkan ke pihak berwenang hingga ada kekuatan hukum tetap dari pengadilan.
“Itu dasar hukum kami bersikap karena rekomendasi Bawaslu ini muncul setelah adanya penetapan pasangan calon. Maka dari itu, sesuai Pasal 133 PKPU nomor 8 tahun 2024, jika itu terjadi, kami meneruskan ke instansi yang berwenang hingga ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap,” pungkasnya. (fjr/idr)