Tok! MK Setuju 5 Hari Kerja dalam Sepekan

  • Bagikan
Mahkamah Konstitusi

PALOPOPOS.FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian uji materi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja yang diajukan oleh Partai Buruh dan sejumlah federasi serikat pekerja.

Dalam sidang yang digelar pada Kamis (31/10/2024) lalu, Ketua MK Suhartoyo menyatakan bahwa gugatan tersebut dikabulkan untuk sebagian.

Putusan ini menjadi angin segar bagi pekerja yang selama ini memperjuangkan hak-haknya di tengah dinamika pelaksanaan UU Cipta Kerja.

"Amar putusan, mengadili, mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," ujar Ketua MK Suhartoyo.

Dalam amar putusannya, MK mengabulkan pengujian konstitusional terhadap 21 norma yang diatur dalam UU tersebut.

Beberapa di antaranya berkaitan dengan penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA), Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), pekerja alih daya (outsourcing), cuti, serta aturan mengenai upah dan minimum upah.

Salah satu poin penting yang juga dikabulkan adalah ketentuan mengenai prosedur Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang diatur dalam Pasal 151 ayat (3) dan ayat (4).

Hak-hak pekerja atas uang pesangon, uang penggantian hak upah (UPH), dan uang penghargaan masa kerja (UPMK) juga menjadi bagian dari norma yang dikabulkan.

Namun, tidak semua permohonan disetujui. MK menolak beberapa poin gugatan karena dianggap tidak beralasan menurut hukum.

Selain itu, satu norma, yakni Pasal 156 ayat (4) yang mengatur soal uang pesangon, tidak dapat diterima karena dianggap prematur.

Putusan ini menegaskan bahwa proses hukum yang terkait dengan pasal tersebut belum memenuhi syarat untuk diuji di MK.

Gugatan ini diajukan oleh Partai Buruh bersama Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).

Dalam petitumnya, para pemohon mengajukan 71 poin yang terbagi dalam tujuh klaster besar.

Klaster tersebut meliputi isu-isu strategis seperti penggunaan TKA, perjanjian kerja waktu tertentu, outsourcing, hak cuti, upah minimum, PHK, dan kompensasi pekerja.

Berikut adalah beberapa poin penting yang disoroti MK dalam putusannya:

Pertama, MK memperpanjang durasi Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dari sebelumnya maksimal 3 tahun menjadi hingga 5 tahun. Perubahan ini memberikan kelonggaran waktu kontrak bagi pekerja non-permanen.

Kedua, MK memberikan fleksibilitas dalam pola kerja mingguan. Kini, pekerja memiliki opsi untuk bekerja 5 hari dalam seminggu dengan 2 hari libur, memberikan ruang lebih untuk keseimbangan antara kerja dan kehidupan pribadi.

Ketiga, ketentuan mengenai outsourcing kini diperketat. Hanya jenis pekerjaan tertentu yang diizinkan dialihkan ke tenaga kerja alih daya, membatasi praktik outsourcing yang sebelumnya lebih luas.

Keempat, MK menegaskan bahwa upah layak harus memenuhi kebutuhan dasar pekerja dan keluarganya, seperti pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, hingga jaminan hari tua. Hal ini menekankan pentingnya kesejahteraan pekerja.

Kelima, Upah Minimum Sektoral (UMS) yang sebelumnya dihapus kini dihidupkan kembali. Dengan kembalinya UMS, pekerja di sektor tertentu akan mendapatkan perlindungan dan kesejahteraan lebih baik sesuai karakteristik sektor mereka.

Keenam, terkait Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), MK menetapkan bahwa PHK hanya dapat dilakukan setelah ada keputusan dari lembaga penyelesaian sengketa. Ini bertujuan memberikan perlindungan dan rasa aman bagi pekerja dari pemutusan hubungan kerja sepihak.

Ketujuh, hak pesangon bagi pekerja yang terkena PHK juga ditegaskan kembali oleh MK. Dengan ini, pekerja dipastikan akan menerima kompensasi yang sesuai saat terjadi PHK.

Kedelapan, penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) dibatasi hanya untuk posisi yang memerlukan keahlian khusus. Hal ini menegaskan bahwa tenaga kerja lokal tetap menjadi prioritas utama.

Kesembilan, MK menginstruksikan agar ketentuan ketenagakerjaan dibentuk dalam undang-undang terpisah dari UU Cipta Kerja. Pemisahan ini dimaksudkan untuk memberikan kejelasan dan fokus pada isu-isu ketenagakerjaan.

Terakhir, MK mengembalikan fungsi Dewan Pengupahan yang berperan penting dalam memberikan masukan terkait penetapan upah. Dengan adanya dewan ini, proses penetapan upah diharapkan lebih transparan dan akuntabel. (fajar)

  • Bagikan