Debat Pilkada: Adu Gagasan atau Ritual Politik Tanpa Substansi?

  • Bagikan

Achmad Sulfikar, M.I.Kom.
Dosen Komunikasi dan Penyiaran IAIN Palopo

"That's what we're missing. We're missing argument. We're missing debate. We're missing colloquy. We're missing all sorts of things. Instead, we're accepting." - Studs Terkel
Debat politik dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) semestinya menjadi arena strategis untuk menguji kapasitas calon, menggali visi-misi yang mereka tawarkan, dan menilai kemampuan mereka menyelesaikan persoalan lokal. Sayangnya, debat Pilkada sering kali tidak lebih dari formalitas belaka. Para calon kepala daerah cenderung bermain aman, menghindari isu-isu kontroversial, dan hanya menyampaikan janji-janji besar tanpa dasar yang kuat yg sering kali miskin nalar. Akibatnya, fungsi debat sebagai salah satu alat untuk membantu pemilih menentukan pilihan menjadi perlu dipertanyakan.

Salah satu tantangan utama debat Pilkada adalah adanya satu fenomena "ruang gema" di kalangan pemilih. Mayoritas pemilih sering kali sudah memiliki calon pilihan sebelum debat dimulai, berdasarkan faktor identitas, kedekatan emosional, atau loyalitas terhadap partai. Dalam situasi ini, mereka hanya mencari konfirmasi atas pandangan yang sudah mereka yakini, sementara argumen dari calon lain cenderung diabaikan. Alhasil, debat tidak lagi menjadi instrumen pembanding gagasan, melainkan sekadar panggung untuk memperkuat basis dukungan masing-masing calon.

Selain itu, format debat Pilkada kerap kali tidak mendukung adu gagasan yang mendalam. Durasi yang singkat membatasi ruang bagi calon untuk menjelaskan solusi konkret terhadap isu-isu lokal. Pertanyaan yang diajukan kelompok panelis sering bersifat umum dan tidak memancing diskusi kritis. Lebih buruk lagi, moderator sering kali menghindari menggali lebih dalam atau menantang calon dengan pertanyaan lanjutan yang dapat menguji kejujuran dan kompetensi mereka. Hal ini membuat debat terasa kaku, dangkal, dan jauh dari esensi perdebatan yang seharusnya.

Kehadiran media sosial turut memperburuk situasi ini. Algoritma media sosial cenderung hanya menampilkan konten yang sesuai dengan preferensi pengguna, sehingga memperkuat "gelembung" informasi. Klip debat sering kali dipotong untuk memperkuat narasi tertentu, bukan untuk memberikan gambaran utuh tentang gagasan para calon. Peran debat dalam Pilkada semakin tergerus oleh fragmentasi informasi dan manipulasi persepsi. Akibatnya, pemilih tidak lagi memanfaatkan debat untuk menggali informasi baru. Dalam situasi ini, debat berubah menjadi ritual politik yang tidak memberi dampak signifikan terhadap kualitas demokrasi.

Namun, tentu saja, kritik terhadap debat Pilkada ini tidak boleh berakhir dengan pesimisme. Ada beberapa langkah yang dapat diambil untuk mengembalikan fungsi debat sebagai arena adu gagasan yang substantif. Pertama, format debat perlu dirancang lebih interaktif, memberi ruang bagi calon untuk saling bertanya dan menantang gagasan satu sama lain secara mendalam. Kedua, peran moderator perlu diperluas. Moderator harus berperan aktif dalam mengelola debat, ia juga harus lebih berani dan kompeten dalam menggali jawaban calon serta menghindari pembahasan yang terlalu dangkal. Saat ini, peran moderator tidak lebih dari sebagai mesin penghitung durasi. Ketiga, pengguna media sosial dan media massa lokal perlu mendorong masyarakat untuk melihat berbagai sudut pandang dan mempromosikan analisis berbasis fakta daripada sekadar narasi emosional dan pemberitaan yang timpang.

Yang terpenting, literasi politik masyarakat harus ditingkatkan. Pemilih perlu diajak untuk lebih kritis dalam menilai gagasan dan janji yang disampaikan dalam debat, bukan hanya terkesan oleh retorika atau afiliasi politik. Jika upaya ini dilakukan secara konsisten, debat Pilkada lima tahun mendatang dapat kembali menjadi instrumen demokrasi yang efektif, bukan sekadar formalitas yang hanya menghabiskan dana yang tidak sedikit. Pada akhirnya, relevansi debat dalam Pilkada terletak pada keseriusan semua pihak—penyelenggara, partai politik, calon, media, dan masyarakat—dalam menjadikan demokrasi lebih bermakna. Tanpa itu, debat politik hanya akan menjadi panggung kosong yang tidak menawarkan solusi nyata dan masuk akal bagi masyarakat. (*)

  • Bagikan