Oleh : Nurdin (Dosen IAIN Palopo
Hari Selasa yang lalu, di depan Komisi III DPR RI, Calon Pimpinan (Capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johanis Tanak, diuji. Apakah yang bersangkutan layak untuk menahkodai KPK atau tidak. Dan yang menarik dari fit and propertest tersebut.
Johanis Tanak, berkeinginan menghapus atau meniadakan Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang selama ini menjadi momok bagi pencuri uang rakyat. Jika kelak ia terpilih menjadi ketua KPK. Keinginan Johanis Tanak itu sontak membuat para anggota dewan yang hadir bertepuk tangan.
Tepuk tangan para anggota dewan mungkin karena mereka menyadari bahwa banyaknya kepala daerah dan bahkan anggota dewan itu sendiri yang tertangkap akibat operasi tangkap tangan yang dilakukan oleh KPK. Dan tidak dipungkiri bahwa dari OTT itulah, kasus mega korupsi banyak yang terungkap.
Lalu bagaimana OTT itu ditinjau dari sudut pandang hukum pidana? Kalau membaca hukum acara pidana dan juga UU yang mengatur tentang pidana korupsi, tentu kita tidak akan menemukan istilah Operasi Tangkap Tangan atau OTT. Entah darimana awal mula istilah itu ada.
Yang pasti, bahwa berbicara mengenai OTT dalam konteks pelaksanaannya, tentu identik dengan cara KPK menangkap basah para penyelenggara negara yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Dalam hal ini, penyelenggara negara yang menerima suap atau gratifikasi.
Secara formal, hukum acara pidana tidak dikenal istilah "operasi" termasuk Operasi Tangkap Tangan dan yang ada diatur dalam KUHAP adalah tertangkap tangan dengan tidak menggunakan kata operasi atau dengan kata lain bukan istilah OTT.
Ketika menggunakan kata operasi, tentu logika hukumnya didahului dengan persiapan-persiapan, sehingga terkesan KPK menyiapkan segala sesuatunya terlebih dahulu, misalnya surat perintah penangkapan. Untuk penyelenggara negara siapa yang akan ditangkap hari ini, esok, lusa, dan seterusnya.
Sementara pengertian tertangkap tangan adalah orang yang ditangkap karena sedang melakukan tindak pidana atau sesaat setelah melakukan tindak pidana atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai, bahwa dialah pelakunya atau sesaat kemudian ditemukan padanya benda yang diduga kuat digunakan melakukan tindak pidana yang menunjukkan bahwa dialah pelakunya.
Dan hebatnya lagi, tertangkap tangan itu, karena bukan hanya KPK atau penegak hukum lainnya yang boleh menangkap, tetapi semua orang boleh melakukannya termasuk masyarakat pada umumnya dengan catatan setelah menangkap pelaku, segera menyerahkan kepada penyidik atau aparat penegak hukum.
Selain itu, tertangkap tangan tidak perlu menggunakan surat perintah tugas dan surat perintah penangkapan. Sebab tidak bisa dibayangkan kalau misalnya, terjadi suap menyuap di depan mata lalu mengatakan bahwa "Tunggu dulu ya, saya ke kantor buat surat perintah penangkapan" Keburu lari pelakunya.
Jadi, mestinya yang ditiadakan atau dihapuskan adalah kata atau istilah "Operasi" dalam konteks Operasi Tangkap Tangan (OTT) sebab memang istilah itu selain tidak pas dalam konteks tangkap tangan menurut hukum, juga tidak ada dalam UU formil. Namun, tertangkap tangan akan terus ada sampai kapanpun. (*)