Penulis: Dr. Abbas Langaji, M.Ag. (Rektor IAIN Palopo)
RABU, 27 November 2024, merupakan momen “pesta” demokrasi yang dinanti bersama oleh segenap rakyat Indonesia di berbagai daerah; pada hari dan tanggal tersebut akan dilaksanakan pilkada serentak yang akan memilih 37 pasangan gubernur/wakil gubernur dan 508 bupati/walikota.
Beragam analisis dan komentar dari berbagai perspektif keilmuan yang menjelaskan proses dan dinamika terkait dengan hirup pikuk pilkada tersebut, dari yang bersifat obyektif hingga yang cenderung subyektif, bahkan boleh jadi ada analisis yang provokatif. Di sini saya akan menjelaskannya dari perspektif Jabariyah.
Jabariyah (predestination) adalah salah satu aliran dalam teologi Islam yang diperkenalkan pertama kali oleh Ja’ad bin Dirham kemudian disempurnakan oleh Jahm bin Shafwan pada abad kedua hijriyah.
Teologi ini menyatakan bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam raya ini berjalan sesuai dengan skenario Tuhan. Semua realitas sudah ditetapkan oleh Tuhan sejak zaman azali; segala makhluk, termasuk manusia, berproses sesuai dengan skenario tersebut. Manusia tidak mempunyai kehendak dan daya apapun, semuanya berjalan atas kehendak dan ketentuan dari Tuhan.
Dalam perspektif teologi Jabariyah, sesungguhnya nama pasangan pemenang gubernur/wakil gubernur dan bupati/wakil bupati serta walikota/wakil walikota sudah ada di tangan Tuhan; meski hingga dilaksanakannya pilkada serentak, nama-nama tersebut masih berstatus “rahasia” Tuhan yang tertulis di lauhil mahfudz.
Segala dinamika dan hiruk pikuk terkait pilkada itu sesungguhnya adalah upaya manusia untuk mengetahui dan “menyingkap” rahasia Tuhan. Sehingga apapun upaya sadar manusia, segala bentuk ikhtiar yang terstruktur dan sistematis berupa diskusi, perdebatan, kampanye, propaganda, bahkan mungkin berdampak munculnya pertengkaran, sesungguhnya lebih merupakan model klaim para kontestan pilkada bahwa mereka berada di pihak yang masih dirahasiakan Tuhan tersebut;
Di antara kontestan berikut pendukung fanatiknya ada yang mengklaim diri sebagai yang unggul atas lainnya; bahkan tidak sedikit yang mempergunakan hasil survei, polling dan sejenisnya untuk melegitimasi klaim keunggulannya. Tidak sedikit juga tokoh yang seharusnya menjadi panutan bersama justru terjebak untuk menyatakan dukungannya kepada salah satu pasangan kontestan.
Bila semua sudah ditetapkan Tuhan, dan bahwa nama pemenang pilkada di suatu daerah sudah disimpan Tuhan, maka untuk apa lagi kita bertengkar?
Secara sederhana, saya ingin mengatakan bahwa kita bangsa Indonesia sebagai manusia yang religius seharusnya menyadari bahwa pilkada tidak lebih dari ikhtiar bersama dalam suatu pesta untuk memilih pemimpin kita dalam satu periode. Sehingga siapa pun yang nantinya yang terpilih itulah tercantum dalam rahasia Tuhan, dan bahwa pilihan Tuhan itulah yang terbaik bagi manusia.
Bila semua dinamika dalam proses pilkada ini merupakan usaha bersama menyingkap rahasia Tuhan, maka kenapa mesti kita harus bertengkar?
Saya bukan penganut teologi Jabariyah, dan anda pun boleh tidak sependapat dengan teologi Jabariyah tersebut karena menafikan kreativitas manusia, tapi kita perlu sepakat bahwa pilkada damai adalah dambaan bersama, siapa pun yang terpilih dan menjadi pemenang dalam kontestasi pilkada merekalah yang tercatat dalam “rahasia” Tuhan tersebut. (*)