Oleh : Bayu Segara (Jurnalis Luwu Utara)
Kecenderungan sebagian masyarakat dalam menentukan pilihan calon bupati hanya berdasarkan isi amplop, bukan pada kapasitas dan visi-misi kandidat, mencerminkan degradasi nilai demokrasi di tingkat akar rumput. Fenomena ini memperlihatkan betapa politik uang telah mengakar dalam proses pemilihan kepala daerah, menggeser esensi demokrasi dari memilih pemimpin terbaik menjadi sekadar "transaksi jual beli suara."
Pernyataan seperti, “Kalau ada uangnya saya pilih, kalau tidak ya tidak,” menjadi bukti nyata bahwa sebagian masyarakat telah kehilangan orientasi dalam melihat pentingnya kualitas pemimpin. Mereka yang seharusnya menggunakan akal sehat dan hati nurani untuk memilih, justru lebih tertarik pada keuntungan sesaat yang diberikan oleh calon kepala daerah.
Fenomena ini tentu tidak berdiri sendiri. Kesenjangan ekonomi, pendidikan yang kurang merata, dan lemahnya penegakan hukum terhadap praktik politik uang menjadi akar permasalahan. Masyarakat yang hidup dalam keterbatasan kerap melihat uang tunai sebagai solusi instan, tanpa menyadari dampak jangka panjangnya. Akibatnya, mereka memilih berdasarkan iming-iming, bukan berdasarkan pemikiran rasional yang mempertimbangkan kapasitas calon pemimpin untuk membawa perubahan.
Ironisnya, politik uang tidak hanya merugikan masyarakat, tetapi juga memberikan ruang bagi calon pemimpin yang tidak kompeten untuk menduduki jabatan strategis. Pemimpin semacam ini cenderung tidak memiliki visi yang jelas untuk memajukan daerah karena fokus mereka lebih kepada bagaimana “mengembalikan modal” yang telah dikeluarkan selama kampanye. Dampaknya, kebijakan publik yang dibuat sering kali tidak berorientasi pada kesejahteraan rakyat, melainkan pada kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Oleh karena itu, semua pihak harus terlibat dalam memutus mata rantai politik uang. Pemerintah dan penyelenggara pemilu perlu memperkuat pengawasan dan memberikan sanksi tegas terhadap pelaku politik uang. Sementara itu, tokoh masyarakat, lembaga pendidikan, dan media harus aktif mengedukasi masyarakat tentang pentingnya memilih pemimpin berdasarkan kapasitas dan visi-misi mereka.
Masyarakat juga perlu menyadari bahwa menerima uang dari calon pemimpin ibarat menukar masa depan mereka dengan kepuasan sesaat. Pilihan yang diambil hari ini akan menentukan arah pembangunan daerah di masa depan. Jika suara mereka hanya dihargai selembar uang, maka jangan heran jika kualitas kepemimpinan yang dihasilkan tidak sebanding dengan harapan mereka.
Kita harus kembali menghidupkan nilai-nilai demokrasi yang sehat, di mana akal sehat, hati nurani, dan visi kemajuan menjadi pedoman utama dalam menentukan pilihan. Karena memilih pemimpin bukanlah sekadar hak, tetapi tanggung jawab untuk masa depan bersama. (*)