IRONI TINGKAT PARTISIPASI PEMILIH DALAM PILKADA

  • Bagikan

Oleh: Baharuddin Solongi

 (Pengamat Politik dan Konsultan Tata Kelola Pemerintahan)

Pilkada 2024 telah usai, namun menyisahkan beberapa ironi. Salah satu diantaranya, masalah tingkat partisipasi pemilih. Betapa tidak, Pilkada serentak  ini ternyata partisipasi pemilihnya cukup rendah. Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat partisipasi pemilih tak sampai 70 persen berdasarkan rata-rata nasional. Berdasarkan pemantauan via Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) KPU RI pada Jumat sore (29/11/24), dari 98,5 persen data yang masuk, tingkat partisipasi pemilih hanya 68,16 persen. Partisipasi Pemilih pada Pilkada Sumatera Utara hanya 55,6 persen, sedangkan DKI Jakarta hanya 57,6 persen, terendah sepanjang sejarah.  Secara nasional, tingkat partisipasi pemilih dalam pilkada ini jauh lebih rendah ketimbang Pilpres 2024 Februari lalu yang mencapai 80 persen lebih.

Lalu, apa faktor penyebab utamanya? Bervariasi, berdasarkan konteks sosial, politik, dan geografis suatu wilayah. Setidaknya, ada 12 penyebab utama, antara lain; Pertama,  Pemilih menilai, kandidat tidak representatif: Pemilih merasa bahwa kandidat tidak mewakili aspirasi mereka atau hanya mementingkan kepentingan pribadi/kelompok. Kedua, skandal korupsi dan skandal politik yang melibatkan elite politik bisa menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi. Ketiga, sebagian pemilih menganggap bahwa hasil Pilkada tidak akan berdampak signifikan pada kehidupan mereka. Rasa frustasi terhadap kondisi sosial-ekonomi yang tidak membaik meskipun terjadi pergantian Gubernur, Bupati, Walikota, masing-masing bersama pasangannya. Keempat, pemilih kurang mendapatkan informasi yang cukup tentang pentingnya partisipasi mereka dalam Pilkada. Minimnya akses informasi mengenai kandidat, visi, misi, atau program kerja mereka. Kelima, sulitnya akses ke tempat pemungutan suara (TPS) dapat menghalangi pemilih. Faktor geografis, cuaca buruk, atau transportasi yang tidak memadai juga dapat menjadi kendala. Keenam, ketika politik uang terjadi, pemilih cenderung melihat pilkada sebagai formalitas. Mereka memilih untuk tidak berpartisipasi jika tidak menerima “imbalan.” Penegakan hukum terkait pelanggaran pidana pilkada yang tidak optimal. Politik uang semakin masif disertai modus yang semakin beragam. Sementara penanganannya masih biasa dan standar saja. Sangat jomplang antara realitas dan efektivitas penegakan hukum. Ketujuh, konflik antarpendukung atau intimidasi oleh kelompok tertentu dapat membuat pemilih takut untuk datang ke TPS. Stigma terhadap pemilih tertentu, seperti perempuan atau kelompok minoritas, juga dapat memengaruhi partisipasi. Kedelapan,  bisa jadi ketika tiba hari H Pilkada, sejumlah pemilih jatuh sakit, sehingga terpaksa atau lebih memilih untuk tidak ke TPS. Kesembilan, Pilkada sering kali diadakan pada hari kerja, yang dapat menyulitkan mereka yang memiliki kesibukan pekerjaan atau tanggung jawab lain. Kesepuluh, jika kampanye tidak menyentuh isu-isu yang relevan bagi pemilih muda, perempuan, atau kelompok marginal, mereka mungkin merasa tidak memiliki alasan kuat untuk berpartisipasi. Kesebelas, adanya kelelahan karena menjalani pemilu nasional dan pilkada pada tahun yang sama. Kelelahan dan kejenuhan ini dianggap terjadi bukan hanya pada pemilih, namun juga terjadi pada penyelenggara pemilu serta partai politik. Dan, Keduabelas,  pencalonan kepala daerah yang sentralistis di tangan pengurus pusat partai politik. Akhirnya banyak calon yang tidak sejalan dengan aspirasi daerah dan lebih mencerminkan selera elite politik nasional. Ini yang membuat mesin partai tidak bekerja di sejumlah daerah dalam melakukan kampanye pemenangan untuk calon yang diusung partainya.

Mencermati 12 faktor utama di atas, maka perlu strategi agar pemilih dalam pilkada periode ke depan meningkat partisipasinya. Olehnya itu,  yang sangat urgen dan mendesak, segera merivisi seluruh UU Politik (UU Pemilu, UU Parpol, dan UU Pilkada). Perlu direvisi secara tegas dan lugas terkait sanksi praktek politik uang, sistem pengawasan melekat dan dengan pelibatan aktif masyarakat,  serta mekanisme pencalonan yang benar-benar berbasis kompetensi, integritas dan berdasarkan aspirasi masyarakat daerah. Bukan pilihan elit politik pusat maupun daerah, apalagi pilihan berdasarkan kepentingan oligari.     Kemudian, melakukan kampanye edukasi Secara terencana, massif, dan berkesinambungan melalui media massa, media sosial, dan komunitas lokal untuk menjelaskan pentingnya pilkada dan dampaknya pada kehidupan masyarakat. Membuat konten visual seperti infografis atau video singkat yang menjelaskan cara memilih dan jadwal pilkada. Lalu memanfaatkan pengaruh tokoh agama, tokoh masyarakat, atau tokoh pemuda untuk menyampaikan pesan pentingnya berpartisipasi. Selain itu, mensosialisasikan prosedur keamanan dan akurasi sistem pilkada untuk mengurangi skeptisisme. Pastikan calon kepala daerah dan penyelenggara pemilu menunjukkan integritas dan transparansi.

Kemudian, pastikan TPS mudah dijangkau, termasuk bagi penyandang disabilitas dan yang sedang sakit. Pastikan waktu pelaksanaan memungkinkan bagi masyarakat pekerja. Gunakan platform media sosial untuk menjangkau generasi muda dengan konten menarik, seperti tantangan atau kuis terkait pilkada. Implementasi teknologi seperti e-voting dapat membuat proses lebih nyaman, khususnya bagi diaspora. Penting juga, fokus pada isu yang relevan bagi masyarakat lokal, seperti pendidikan, kesehatan, atau ekonomi. Adakan kegiatan seperti lomba terkait pilkada untuk menarik para pemilih. Dan, berikan penghargaan atau apresiasi bagi komunitas dengan tingkat partisipasi tinggi. Selain itu, libatkan komunitas pemuda atau organisasi mahasiswa untuk menyelenggarakan kegiatan sosialisasi. Gunakan pendekatan seperti meme, video pendek, atau podcast yang relevan dengan minat generasi muda. Pastikan perlindungan bagi perempuan, penyandang disabilitas, dan kelompok marginal agar merasa nyaman berpartisipasi. Serta, permudah proses pencatatan pemilih, terutama untuk kelompok yang sulit dijangkau. Wassalam.(*)

  • Bagikan