Menimbang-nimbang Pemilihan Kepala Daerah Lewat DPRD, Gugurkan ‘Kufur’ dan Antar Partai Berdaulat

  • Bagikan

Dr. Syahiruddin Syah, M.Si

Penulis: Dr. Syahiruddin Syah, M.Si
(Pengamat Politik dan Kebijakan Publik Universitas Andi Djemma Palopo)

SISTEM pemilihan kepala daerah kini menjadi topik hangat. Itu setelah
Presiden RI Prabowo Subianto melempar wacana soal sistem pemilihannya. Yakni, kepala daerah seperti gubernur hingga bupati dan wali kota kembali dipilih oleh DPRD.

Ia menilai sebagaimana yang diterapkan di negara lain, sistem itu lebih efisien dan tak menelan banyak biaya.

Wacana ini juga memantik penulis untuk menganalisisnya. Soal sistem yang dilempar Presiden RI ini, saya terus terang setuju. Karena, memang khittahnya demokrasi Indonesia adalah perwakilan.

Para pendiri bangsa menciptakan demokrasi perwakilan. Dan, rohnya ada pada Pancasila sebagai demokrasi terbatas (perwakilan). Jadi, demokrasi terbuka hanya ada di negara maju karena pertumbuhan ekonominya sudah baik. Mereka berada di atas 7%. Ini juga sesuai dengan teori Aristoteles bahwa negara yang baik adalah negara yang diperintah oleh konstitusi. Yaitu, melaksanakan kepentingan umum berdasarkan ketentuan -ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang ada, dan rakyatlah yang menentukan undang-undang melalui wakilnya yang berada di parlemen.

Selanjutnya, beliau mengatakan bahwa ciri-ciri negara yang baik dan buruk :

Negara yang baik adalah Monarki, Aristokrasi, dan republik. Sementara negara yang buruk adalah Tirani, Oligarki, dan demokrasi. Demokrasi di sini tanda petik. Bahwa, hanya cocok di negara yang maju, yang pertumbuhan ekonominya berada pada posisi 7 % ke atas.

Tidak ada negara yang sementara berkembang, atau sedang dalam pengembangan ( under development) jika melaksanakan demokrasi terbuka akan aman, damai, adil, dan makmur. Oleh karena pertumbuhan ekonominya masih di bawah 7%. Artinya, income per kapita masyarakat masih rendah. Sehingga, bila dilaksanakan even demokrasi, pasti rakyat kufur. Kenapa? Karena, suaranya diperjualbelikan, seperti yang terjadi di Indonesia.

Kaum Oligarki menguasai pemerintah dan semua aturan bisa saja dilanggar. Dan, pihak kapital meliberalisasi rakyat dengan iming-iming material (uang).

Demokrasi yang seperti ini sangat-sangat merugikan rakyat secara tidak langsung. Karena, hanya dengan pemberian sesaat, jangka panjang tidak ada. Janji dan harapan belum tentu terealisasi oleh karena si calon sudah membeli suaranya.

Demikian pula merugikan/memiskinkan calon, baik itu calon kepala daerah, maupun calon legislatif. Demokrasi pula menggunakan uang negara yang triliunan. Masyarakat tidak kondusif dan saling menceritakan kelemahan para calon, dan bahkan sering terjadi perselisihan antar tim.

Selanjutnya, partai politik hanya sebuah nama saja. Oleh karena bukan lagi partai kader yang menjual kadernya untuk menjadi pemimpin, akan tetapi semata-mata menjadi partai massa yang direkrut dengan kapasitas isi tas yang banyak sehingga demokrasi sangat-sangat tidak berkualitas.

Dari dasar inilah sebagai pengamat tidak setuju lagi dengan pelaksanaan demokrasi terbuka di Indonesia.

Harapan penulis agar demokrasi dilaksanakan dengan cara pemilihan melalui perwakilan di DPRD, saja sehingga Pancasila kembali menjadi simbol demokrasi Indonesia yang sesuai dengan amanah bagi pendiri bangsa Indonesia. Wassalam. (*)

  • Bagikan

Exit mobile version