armin mustamin toputiri
(Uang Politik, Uang Sunhaji, Uang MA, juga Uang Palsu)
"Ukuran kekayaan sebenarnya yang kau miliki, adalah seberapa berharga dirimu jika kekayaanmu itu sudah tak lagi ada"
HUJAN deras di luar, depan rumah saya -- sebelah rumah sakit Faisal Makassar -- genangan air setinggi lutut orang dewasa. Saya memilih selonjoran di kursi tamu. Lalu, buka hape, menyimak berita teraktual.
Pilkada telah usai, tapi rupanya sebagian kontestan mengadu ke MK. Aduannya, tak terima kalah bertaruh politik uang. Tapi aakh, semua tau, politik uang bagai berak di jalanan. Kekeliruan besar, tapi tak lagi dinilai tabu. Jamak, semua kita, menilai lumrah. "Ala bisa karena terbiasa", tulis Charles Duhigg di bukunya "The Power of Habit" (2013).
Kita lewati saja berita politik uang itu. Nah, ini, ketemu berita soal uang juga. Di rumah Sunhaji, penjaja teh keliling yang dulu dihardik "goblok" oleh Gus Miftah itu, ada tersusun segompok uang. Nilainya fantastis -- lebih lagi bagi penjaja teh keliling -- ratusan juta rupiah.
Uang itu, rejeki abrakadabra bagi Sunhaji. Sim salabim, sekejap turun dari langit. Tersalur lewat mulut kasar oknum tokoh agama. "Aakh, Gus Miftah itu, bisa saja seorang "wali". Cara beda, bukan mantra, justru menghardik, karomahnya maqbul. Maka turunlah segompok uang itu ke rumah Sunhaji", seloroh budayawan Sujiwo Tejo.
Tapi di benak saya, berkelindang fantasi lain. Sayang, Pileg dan Pilkada telah usai. Jika belum, andai Sunhaji ikut nyaleg, atau nyalon Pilkada, tak mustahil bakal terpilih. Tak soal, dia penjaja teh keliling. Terpenting, dia banyak dapat simpati. Apa beda Jokowi, semula tukang kayu.
Wow, ini satu berita lagi soal uang. Sumpah, saya tak kuasa menahan takjub, melihat potret tumpukan uang tersusun rapi. Memenuhi luasan kamar sebuah rumah mewah. Nilainya, nyaris satu triliun.
Dulu di DPRD Sulsel, saya di Komisi Keuangan. Tiap tahun menghitung 10 triliun APBD Sulsel. Hanya angka di atas kertas, wujud 10 triliun itu tak pernah terlihat. Inilah kali pertama, saya lihat potret uang satu triliun. Pun sebagian mata uang asing. Kebayang berapa kamar dibutuh jika uang itu lembaran 100 ribu rupiah.
Pemiliknya Zarof Ricar, ex-pejabat Mahkamah Agung. Uang itu, diraih dari peran Markus, makelar kasus. Soal perbuatannya, tak lagi kefikir di benak saya, lazim bagi penegak hukum di republik ini. Justru terngiang di benak saya, "rupanya mendapatkan uang hasil kejahatan kolusi-korupsi, jauh lebih mudah dibanding cara menyimpannya".
Belum sirna di benak soal tumpukan uang triliunan, eeh ketemu lagi berita teranyar soal uang. Polres Gowa menemukan setumpuk uang kertas seratus ribu. Konon, nilainya kurang sedikit lagi semilyar rupiah. Uang sebanyak itu, patut disesali karena rupanya uang palsu. Andai asli, hmm…
Ironisnya, tumpukan uang haram itu -- juga alat produksinya -- didapat dalam kampus berlebel islami. Memilukan lagi -- kontras -- berada dalam ruang perpustakaan. Pelaku yang memproduksi, mengedar, bukanlah preman. Dia pejabat di kampus itu.
Konon, pemimpin kita mustahil bisa duduk di kursinya, tanpa diawali politik uang. Tapi bagi Sunhaji lain, dapat rejeki justru buah dari tetiba dirinya "dihinakan". Tapi, ironis bagi Zarof Ricar, sukses "merampok" uang satu triliun, tapi cara menyimpannya dia bingung.
Lain soalnya dengan uang palsu itu, dia sukses berbuat culas dalam kampus, di sela buku-buku ruang perpustakaan pula. Namun sayang, justru ia gagal kala membelanjakan. Hi hi hi… (*)
Makassar, 17 Desember 2024