TELAAH KRITIS PEMBENTUKAN PROVINSI LUWU RAYA

  • Bagikan

Oleh Dr. Abdul Talib Mustafa, M.Si (Wakil Ketua Umum BPP KKLR)

Beberapa hari belakangan, ramai di media sosial tentang harapan untuk mewujudkan Provinsi Luwu Raya (Pro Lura). Begitu yang sering terjadi di lingkungan Wija To Luwu (WTL). Perbincangan tentang Pro Lura, tiba-tiba menjadi viral. Tapi, tidak direncanakan, juga tiba-tiba menghilang, sepih.
Yang sempat saya amati, biasanya ramai ketika 23 Januari mendekat atau setelahnya. Makfum, terkait dengan hari perlawanan Rakyat Luwu yang bersejarah itu. Malah di tahun 2024 lalu, secara khusus KKLR menyorot gagasan Pro Lura ini dalam Silaturrahmi Nasional yang dilaksanakan di Kota Palopo. Tapi, begitu. Setelahnya sepih lagi.
Narasi tentang Pro Lura kali ini sedikit agar berbeda. Karena, muncul gagasan untuk membentuk Daerah Otonomi Baru (DOB) pecahan Luwu Timur (dengan berbagai penamaan). Gagasan ini, diantaranya dikandung maksud untuk melengkapi saudara tua (Luwu, Palopo, Lutra, dan Lutim) agar bersyarat diajukan memenuhi syarat pembentukan Pro Lura. Dengan demikian, gagasan ini sekaligus dapat diinterpretasi mewakili pandangan yang pesimis atas terbentuknya Kabupaten Luwu Tengah untuk bisa memenuhi syarat pembentukan Pro Lura dengan dukungan lima kabupaten/kota.
Hemat saya, gagasan untuk membentuk DOB pecahan Lutim tidak perlu dihubungkan dengan gagasan Pro Lura. Gagasan tersebut sebaiknya diletakkan dalam kerangka kebutuhan kawasan, yakni kawasan “Luwu Tua” yang telah tumbuh dan berkembang, tidak lagi sebatas Wotu – Malili, Lampenai. Melainkan telah menjangkau Tomoni, Tomoni Timur dan Mangkutana, di Utara, serta wilayah Wasuponda, Soroako, Towuti, dan Nuha di Bagian Tenggara.
Menghubungkan gagasan pemekaran Lutim dengan Pro Lura, juga masih sangat prematur dibanding kemajuan rencana pembentukan Kabupaten Luwu Tengah yang kemajuannya sudah cukup jauh, karena sudah mendapat Amanat Presden (AMPRES), dan draf RUU pembentukan Luwu Tengah, di akhir pemerintahan SBY. Sayang, karena kemudian perwujudan Luwu Tengah menjadi Kabupaten, mendadak berhenti akibat adanya moratorium DOB.
Belum lagi jika kita tengok landasan hukum pembentukan DOB versi UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Untuk pembentukan provinsi diatur pada Pasal 35 Ayat (4) huruf (a) bahwa “cakaupan wilayah sebagaimana dimaksud, paling sedikit 5 (lima) kabupaten/kota untuk pembentukan daerah provinsi”. Sementara gagasan untuk membentuk provinsi Luwu Raya yang biasa dikedepankan para aktivis WTL yang konsern untuk hal ini, baru memiliki modal 3 (tiga) kabupaten dan 1 (satu) kota, yakni Luwu, Palopo, Luwu Utara, dan Luwu Timur. Artinya masih butuh 1 (satu) kabupaten lagi untuk menggenapkan syarat dimaksud.
Pada konteks inilah kemudian diskusi Silaturrahmi Nasional KKLR, memperingati Hari Perlawanan Rakyat Luwu, 23 Januairi 2024 yang lalu, mengemuka dua opsi, yakni melakukan percepatan pembentukan Kabupaten Luwu Tengah, atau mengajak kabupaten sekitar untuk bergabung ke rencana pembentukan Pro Lura. Diskusi tersebut menyimpulkan jika percepatan pembentukan kabupaten Luwu Tengah, merupakan pilihan yang lebih realistis.
Pilihan ini juga sesungguhnya bukan tanpa resiko. Paling tidak pada rentang waktu untuk mewujudkan gagasan Propinsi Lura ini. Hal tersebut terkait dengan pengaturan UU Nomor 23 tahun 2014, pada Pasal 33 Ayat (2) yang mengatur bahwa “pemekaran daerah dilakukan melalui tahapan daerah persiapan provinsi atau daerah persiapan kabupaten/kota”. Kemudian pada Pasal 39 Ayat (2), diatur lebih lanjut bahwa “jangka waktu daerah persiapan dimaksud adalah selama 3 (tiga) tahun”. Ini artinya bahwa DOB kabupaten yang nantinya akan dibentuk, harus melalui tahapan dari kabupaten persiapan, menjadi kabupatem defenitif.
Dengan posisi hukum tentang DOB yang demikian itu, maka prospek pembentukan Pro Lura paling mungkin tahun 2028. Jika diassumsikan bahwa Kabupaten Luwu Tengah sudah ditetapkan (sebagai kabupaten persiapan) pada tahun 2025, kemudian menjadi kabupaten defenitif di tahun 2027. Ini sekaligus menjelaskan betapa tidak masuk akal bila ada pihak yang berani menyatakan bahwa Pro Lura akan terwujud pada tahun 2025.
Pertanyaannya kemudian adalah “apa yang sebaiknya dilakukan para aktivis pembentukan Pro Lura terhadap keadaan yang demikian itu?”. Tentu tidak harus diam. Relevan mengingatkan kembali bagian dari puisi Muhammad Iqbal, seorang sastrawan dan kaum pergerakan kemerdekaan Pakistan ketika menyatakan “jangan berhenti di jalan ini, siapa lambat berarti mati”. Para aktivis Pro Lura, sejatinya terus bergerak, lebih cepat lagi. Pergerakan tersebut tentu harus terstruktur. Setidaknya mencakup 3 (tiga) hal.
Pertama, mendesak pemerintah agar moratorium DOB segera diakhiri. Ini juga tidak efektif dilakukan sendiri-sendiri. Benar yang sering dikatakan Luthfi Andi Mukti (Opu LAM), jika sebaiknya dibangun aliansi regional, malah jika bisa aliansi nasional toko-tokoh daerah yang akan mekar untuk bersama-sama mendesak pemerintah menghentikan moratorium DOB. Hal yang hampir sama juga disarankan oleh Doly Kurnia Tanjung ketika masih menjabat Ketua Komisi II DPR RI kepada Tim KOMPPAK Luwu Tengah pada pertemuan terbatas di gedung DPR RI beberapa waktu lalu.
Kedua, fokus pergerakan Wija To Luwu pada terbentuknya DOB Luwu Tengah. Ini penting untuk penyatuan energi, perhatian bersama, dan yang paling pokok adalah meniadakan bias cara pandang dan cara melangkah, sehingga pergerakan tersebut bisa lebih efektif.
Ketiga, penggalangan sumberdaya ekonomi. Karena pembentukan Kabupaten Luwu Tengah, menyusul Propvinsi Luwu Raya, pasti diwarnai dengan wara, wiri, lobby, mobilitas, administrasi, serta kegiatan lain yang relevan dengan konsekuennsi biaya atau ongkos. Tentu ini juga tidak kecil, terlebih jika sudak ada unsur eksternalitas yang harus dilibatkan pada pergerakan yang dilakukan. Semoga Provinsi Luwu Raya menjadi nyata. Aamiin.

  • Bagikan

Exit mobile version