PALOPOPOS.FAJAR.CO.ID, MAKASSAR – Pemkab Luwu, Pemkot Palopo, dan Pemkab Lutim menagih Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Selatan soal utang Dana Bagi Hasil (DBH) yang belum dituntaskan. Total utang tersebut mencapai Rp1,9 triliun, mencakup tunggakan tahun 2024 dan 2025.
Adapun jumlah utang Pemprov Sulsel untuk daerah di Luwu Raya, seperti pada Pemkab Luwu Timur sekira Rp90 miliar.
Dana bagi hasil tersebut berasal dari pajak air permukaan atau water levy PT Vale Indonesia mulai dari priode triwulan ke II tahun 2024.
Itu diungkapkan Kepala Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Luwu Timur, Ramadhan Pirade saat dikonfirmasi wartawan, Selasa (14/01/2025).
“Pemprov belum bayar ke kita pajak water levy, belum dibayar sampai sekarang,” kata Ramadhan.
Ramadhan mengatakan, dirinya sudah jauh hari melayangkan surat kepada Pemprov Sulsel soal tunggakan ini.
“Belum ada realisasi, belum tau kapan dibayarkan," imbuh Ramadhan singkat.
Sekedar informasi, pajak bagi hasil ini merupakan pembagian Pemkab lutim dan Pemprov Sulsel, 80 persen merupakan hak Pemkab Luwu Timur dan 20 persen sisanya untuk Pemprov Sulsel.
Dana bagi hasil (DBH) pajak terhadap penggunaan Water Levy PT Vale dibayarkan emiten pertambangan ini ke kas negara dalam empat kali setiap tahunnya (pertriwulan).
Water levy ini terkait dengan pemanfaatan air melalui ketiga Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).Tiga PLTA PT Vale yaitu Larona, Balambano dan Karebbe.
PLTA Larona berkapasitas 165 megawatt (MW), PLTA Balambano kapasitas 110 MW dan PLTA Karebbe dengan kapasitas 90 MW.
Jumlah pembayaran tersebut juga termasuk pajak air permukaan untuk operasional lainnya.Dana water levy ini sedianya akan digunakan Pemkab membangun dan menjalankan program ke masyarakat.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi C DPRD Sulsel, Fadel Muhammad Tauphan Ansar, mengungkapkan keprihatinannya atas besarnya utang tersebut.
"Kalau total utang DBH, saya juga agak miris melihatnya, Rp972 miliar untuk 24 kabupaten. Ini menjadi beban yang harus segera diselesaikan," kata Fadel usai Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Gedung DPRD Sulsel, Senin (13/1/2025).
Plt Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKAD) Sulsel, Salehuddin, menjelaskan bahwa hingga kini Pemprov baru mampu melunasi DBH untuk empat kabupaten, yakni Takalar, Pinrang, Sidrap, dan Luwu Utara. Sementara pembayaran untuk 20 kabupaten/kota lainnya direncanakan pada 2025.
Menurut Salehuddin, keterlambatan pembayaran DBH ini dipengaruhi oleh alokasi anggaran untuk Pilkada Serentak 2024 dan utang kepada pihak ketiga.
"Tahun 2024, kami harus memprioritaskan pendanaan Pilkada sebesar Rp680 miliar serta menyelesaikan utang pihak ketiga senilai Rp679 miliar. Pilihan akhirnya jatuh pada penundaan DBH," ujar Salehuddin.
Salehuddin blak-blakan mengenai kendala utama sehingga dana bagi hasil 2024 hingga saat ini belum disalurkan kepada kabupaten dan kota. Pemicunya, kata dia, transfer DBH tersebut ditunda tahun lalu karena terbatasnya anggaran di Pemprov Sulsel.
"Kami harus memilih mengutamakan beberapa program yang butuh dana besar sehingga pembayaran DBH terpaksa kami tunda," ujar Salehuddin di kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sulawesi Selatan, Senin (13/1/2025).
Menurut dia, pada tahun 2024, beban keuangan sangat pelik karena alokasi anggaran untuk pemilihan kepala daerah serentak menelan Rp 680 miliar. Selain itu, masih terdapat utang-utang kepada pihak ketiga yang merupakan tunggakan 2023 yang menyeberang ke 2024 sebesar Rp Rp 679 miliar.
Salehuddin mengatakan, pihaknya sangat sadar ada anggaran DBH yang harus juga dipenuhi. Namun, kata dia, pihaknya harus memilih satu dari tiga hal tersebut untuk menunda pembayarannya lebih dahulu.
"Jadi pilihan harus korbankan satu. Apakah pilkada yang korbankan, pembayaran pihak ketiga atau DBH. Akhirnya kami putuskan menunda pembayaran DBH," beber Salehuddin.
Ketua Komisi C DPRD Sulsel, Andre Prasetyo Tanta, menekankan pentingnya transparansi dari Pemprov terkait tunggakan DBH.
"RDP ini bukan hanya untuk diskusi, tetapi mencari solusi konkret. DPRD ingin mendengar alasan sebenarnya dan langkah yang akan diambil Pemprov," ujarnya.
Anggota Komisi C lainnya, Andi Syafiuddin Patahuddin, menilai alasan Pemprov menunda pembayaran DBH karena dialihkan ke Pilkada kurang rasional.
"DBH adalah hak kabupaten/kota yang sudah direncanakan dalam APBD. Penundaan seperti ini menunjukkan kegagalan perencanaan anggaran," tegasnya.
Pengamat Pemerintahan dan Kebijakan Publik Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. Aminuddin Ilmar, menilai bahwa DBH seharusnya menjadi prioritas Pemprov karena berpengaruh langsung pada serapan anggaran kabupaten/kota.
"DBH adalah kewajiban yang tidak boleh ditunda. Pemprov harus transparan dan segera menyalurkannya agar tidak berdampak pada pelaksanaan program di daerah," jelasnya.
Dengan alokasi Rp1,9 triliun dalam APBD 2025 untuk menyelesaikan utang DBH, diharapkan Pemprov Sulsel dapat segera melunasi kewajiban tersebut. Transparansi dan prioritas dalam penyelesaian utang menjadi kunci untuk memastikan kelancaran pembangunan di seluruh kabupaten/kota di Sulsel.(krm/idr)