Bansos Atasi Dampak Kenaikan PPN?

  • Bagikan

* Oleh: Sitti Hidayah
(Aktivis Dakwah Palopo)



Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% yang mulai berlaku pada 1 Januari 2025 lalu, telah berdampak lonjakan harga pada sebagian besar kebutuhan pokok yang sebelumnya susah mengalami tekanan inflasi.


Untuk meringankan beban masyarakat terdampak, pemerintah sedang mempersiapkan data dan skema untuk penyaluran bantuan sosial (bansos) kepada kelas menengah yang terdampak PPN menjelang tahun 2025, dengan tujuan agar bantuan tersebut bisa tepat sasaran. Menko Pemmas, Muhaimin Iskandar, menekankan perlunya bantuan bagi kelas menengah untuk mencegah mereka terjerumus ke dalam kemiskinan akibat kenaikan PPN.


Selain itu, pelanggan listrik dan air diberikan pembebasan PPN.
Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo menjelaskan, pembebasan PPN atas listrik tersebut berlaku untuk 99,5% pelanggan listrik perseroan.


Ini diberlakukan untuk pelanggan dengan daya di bawah 6.600 VA yakni mencapai 84 juta pelanggan PLN. Adapun golongan pelanggan yang kena tarif PPN listrik hanya sekitar 400 ribu pelanggan, yakni yang berdaya listrik 6.600 VA ke atas (cnbcindonesia.com 16/12/2024).


Pemerintah pun memberikan diskon listrik sebesar 50 persen selama 2 bulan untuk kelompok menengah ke bawah dengan daya 450 volt ampere (VA) hingga 2.200 VA. Diskon ini diberikan untuk meredam dampak dari kenaikan tarif PPN (VIVA.co.id 16/12/2024).


Sementara untuk pekerja, pemerintah klaim tetap melindungi pekerja dan mendukung kesejahteraan mereka. Seperti dinyatakan oleh Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, untuk pekerja di sektor padat karya, Menaker menyampaikan bahwa pemerintah memberikan insentif berupa Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) bagi pekerja dengan penghasilan hingga Rp10 juta per bulan.


Selain itu, iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) yang ditanggung BPJS Ketenagakerjaan juga didiskon 50 persen selama enam bulan guna meringankan beban perusahaan dan pekerja.


Selanjutnya, bagi pekerja yang terkena PHK, pemerintah menawarkan dukungan melalui program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Program ini meliputi manfaat tunai sebesar 60 persen flat dari upah selama lima bulan, pelatihan senilai Rp2,4 juta, serta kemudahan akses ke Program Prakerja (mereka.com 24/12/2024).


Selintas beberapa kebijakan tersebut memberikan angin segar bagi masyarakat. Namun, apakah betul meringankan beban masyarakat?


*Redam Derita ?*


Bansos dan subsidi memang membantu masyarakat sesaat, hanya saja derita masyarakat akan berkelanjutan, entah kapan berakhir? Lalu, bagaimana akan mengatasi tuntas derita akibat kenaikan PPN . Kenaikan harga akan memukul daya beli masyarakat, sektor usaha akan melemah. PPN belum naik saja sudah marak pemutusan hubungan kerja (PHK), bahkan tak sedikit perusahaan yang gulung tikar. Ekonomi melemah dan masyarakat semakin sulit. Angka kemiskinan akan meningkat.


Di samping itu, bansos dan subsidi tersebut hanya menjangkau kalangan tertentu saja. Pekerja akan tetap diperhatikan kesejahteraannya dengan berbagai program. Hanya saja, jaminan itupun dipertanyakan efektivitasnya? Apakah mereka akan mendapat pekerjaan baru ataukah justru menambah angka pengangguran?


Demikian pula dengan pembebasan pajak dan diskon 50% atas listrik bagi kalangan tertentu, apakah tidak menimbulkan masalah baru? Misal: PLN merugi atau negara akan menanggungnya dengan dana darimana? APBN lagi? Yang notabene sumber utamanya dari pajak atau dana dari utang lagi? Lagi-lagi rakyat yang menanggung.


*Tambal Sulam*


Kebijakan tak solutif seperti ini sudah berulang terjadi. Bahkan wajar dalam negeri kita yang kapitalis ini.
Pemasukan negara yang mengandalkan pajak telah memeras rakyat untuk kepentingan negara. Penguasa tak punya alternatif lain, selain memungut pajak dari rakyat untuk membangun negeri. Berbagai program dan kebijakan, sejatinya rakyatlah yang menghidupi kelangsungan negeri ini. Masyarakat makin terpuruk dan menderita.


Bansos dan subsidi hakikatnya meredakan derita sesaat dan redamkan sikap kontra, kritis dari masyarakat. Ibarat "obat pereda nyeri' yang bersifat sementara, tapi tak mengobati tuntas penyakitnya. Lalu, di mana fungsi mereka sebagai pengurus rakyat?


Mirisnya, masyarakat tak menikmati hasil pembangunan, tak juga sejahtera dengan aneka pajak tersebut, bahkan harta negara tak sedikit dikorupsi, disalahgunakan oleh oknum tertentu. Bahkan, kenaikan pajak dengan bansos dan subsidi, hanyalah tambal sulam, cenderung menambah masalah yang telah ada. Misal: dana bansos yang dikorupsi, peruntukan tidak tepat sasaran dan masalah lainnya.


Jika demikian, apa yang harus dilakukan? Adakah format yang bisa mengubah kondisi saat ini? Menjadi penting bagi kita untuk merubah keadaan. Tak sekedar berdiam diri, atau pasrah saja, atau cukup mengurut dada dan bersabar menghadapi kedzoliman yang berulang dan terus terjadi. Tentu dengan format yang benar, baik dan membawa rahmat bagi semua. Kita butuh solusi tak sekedar teori, tapi secara faktual telah terbukti kebaikan dan kehandalannya dalam mengatasi masalah ini.


*Solusi Tuntas*


Berbeda dengan kapitalis, Islam menyolusi tuntas atas masalah perekonomi rakyat saat ini. Negara dalam Islam memiliki aturan yang jelas dan rinci dalam membangun negara dan menyejahterakan rakyat.


Sistem ekonomi Islam dengan paradigma APBN syariah yang akan menjadikan sumber utama pendapatan negara berasal dari pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan pungutan lain yang tentu saja tidak memberatkan sebagaimana yang diberlakukan saat ini.


Syaikh Abdul Zallum (2003), menjelaskan terkait pemasukan dalam APBN Khilafah Islam, ada 12 kategori. Di antaranya pemasukan dari: harta rampasan perang (anfâl, ghanîmah, fai dan khumûs); pungutan dari tanah kharaj; pungutan dari non-Muslim (jizyah); harta milik umum; harta milik negara; harta yang ditarik dari perdagangan luar negeri (‘usyr); harta yang disita dari pejabat dan pegawai negara karena diperoleh dengan cara haram; zakat; dst (Syaikh Abdul Zallum, Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah, hlm. 30).


Dari penjelasan tersebut, satu sumber terbesar dalam APBN negara Islam adalah harta milik umum (milkiyyah ‘âmah). Terkait harta milik umum ini Rasulullah saw. bersabda: Manusia berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput dan api (energi) (HR Abu Dawud).


Harta milik umum termasuk di dalamnya hasil barang tambang: minyak bumi, emas, mineral, dan lainnya, akan dikelola untuk membiayai pendidikan, kesehatan, keamanan,serta medanai pembangunan infrastruktur dan kemaslahatan umat lainnya. Sehingga rakyat tidak dibeban aneka pajak.


Adapun pajak (dharibah) dalam Islam dipungut ketika ada kebutuhan mendesak dan kas (Baitul Mal) negara sedang kosong. Kebutuhan mendesak, seperti: ditimpa bencana, dan lain-lain. Dharibah inipun dipungut dari orang kaya saja. Tidak seperti pajak saat ini, dibebankan kepada seluruh rakyat tanpa kecuali.


Perekonomian ini ditopang oleh sistem pemerintahan Islam yang bersih dari penyalahgunaan wewenang, dijalankan oleh kepala negara (khilafah) yang amanah menjalankan tugasnya sebagai pengurus dan pelayan rakyat, sangat perhatian, peduli dan mencintai rakyatnya. Tidak sedikitpun menyulitkan rakyatnya.


Realitas sejarah membuktikan selama 13 abad Islam berkuasa di dunia. Peradaban terbaik dan mulia. Dunia diliputi kesejahteraan, negara pun dibangun tanpa memungut pajak, tapi dari sumber kepemilikan umum.


Walhasil, kesadaran terkait inilah yang harus dibangun di tengah-tengah umat. Hingga mampu mengatasi kedzoliman pajak. Saatnya kita merujuk kepada sistem Islam yang handal, menyejahterakan dan memberi berkah dan rahmat bagi semua.


Cukuplah Allah SWT mengingatkan kita dalam Al Qur'an, yang artinya : "Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan" (QS Al-A'raf Ayat 96). (*)

  • Bagikan

Exit mobile version