Teori Saja Tidak Cukup

  • Bagikan

Oleh : Nurdin (Dosen IAIN Palopo)

Mengutip kalimat bijak dari Prof. Komarudin Hidayat, beliau mengatakan "Meskipun kita menghabiskan puluhan buku teori tentang renang, begitu masuk kolam renang, kita pasti akan tenggelam juga". Pengalaman memang guru yang paling bijak.

Prof. Komarudin memberikan contoh, bahwa akan banyak kita temui anak-anak di pedalaman yang tidak pernah mempelajari teori berenang, namun sangat piawai bermain di sungai dan di laut. Berenang memang bukan soal berapa banyak buku tentang teori renang yang kita baca.

Kalau Anda tidak pernah berlatih renang di dalam kolam, sungai atau laut, pada akhirnya akan tenggelam juga. Begitu juga dalam hal mempelajari ilmu hukum. Mungkin berlebihan jika mengatakan percuma menghabiskan berpuluh-puluh kitab untuk dibaca, jika tidak dibarengi dengan praktik.

Teori dan praktik dalam ilmu hukum mesti berjalan beriringan. Teori penting sebab dengan belajar teori, praktik tidak akan jauh menyimpang, tidak jauh melenceng. Munculnya ego, ketika orang tidak begitu menguasai teori lalu berpraktik.

Itulah mengapa sehingga sering terucap kalimat, "Ah teori" padahal, penguasaan teori hukum dengan sendirinya memudahkan penegak hukum atau siapa saja yang berkecimpung di dunia hukum dalam berpraktik. Oleh karena, mestinya teori mendahului praktik penegakan hukum itu sendiri.

Mereka yang bergelut dalam dunia hukum, tentu tidak asing lagi dengan kalimat para pakar, bahwa hukum itu seni berinterpretasi atau law is the art of intrepretation. Di sini tentu dibutuhkan penguasaan teori hukum untuk mematahkan argumen lawan.

Tidak hanya itu, para pakar hukum juga mengatakan bahwa fakta dalam hukum bersifat netral (tidak berpihak selain kepada hukum itu sendiri). Dan untuk itu, sangat bergantung pada siapa yang menginterpretasikannya.

Itulah sebabnya kalimat Prof. Satjipto Rahardjo, yang kemudian sering kali disampaikan oleh Prof. Eddy Hiariej pada berbagai kesempatan, bahwa "Kita ini hidup di zaman hukum modern, sayangnya hukum modern itu tidak bisa menjamin yang kalah itu adalah yang salah, dan yang menang itu adalah yang benar"

Bahkan, Prof. Eddy Hiariej sering mengambil contoh bahwa pada tahun 1825 sampai dengan 1830, Raden Mas Ontowiryo berkelahi dengan Jenderal De' Kock. Kalau fakta itu ditulis oleh orang Belanda, maka pangeran Diponegoro itu adalah ekstrimis.

Tidak demikian halnya, jika fakta itu ditulis oleh orang Indonesia, maka kita akan mengatakan bahwa De' Kcok itu adalah penjajah, sementara pangeran Diponegoro itu adalah pejuang. Jadi, fakta yang netral itu dengan perspektif yang berbeda maka, hasilnya akan berbeda.

Fakta yang terungkap dalam hukum adalah netral, namun sekali lagi sangat bergantung pada penguasaan teori hukum. Akan tetapi, teori saja tentu tidak cukup melainkan mesti dibarengi dengan praktik sebagaimana kalimat bijak Immanuel Kant, "Pengalaman tanpa teori itu buta, tetapi teori tanpa pengalaman hanyalah permainan intelektual belaka"

Kant, ingin memberitahu bahwa pengalaman memberikan data, sementara teori memberikan struktur untuk memahami data tersebut. Keduanya harus bekerja bersama agar pemahaman kita dalam konteks ilmu hukum menjadi valid dan bermakna.(*)

  • Bagikan