Taufan Pawe
PALOPOPOS.FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Golkar, Taufan Pawe, akhirnya meminta maaf usai pernyataannya yang menyebut Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) sebagai "beban negara" menjadi bulan-bulanan publik.
Lewat unggahan di akun Instagram pribadinya, Taufan mengakui bahwa frasa yang ia gunakan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada Rabu, 12 Februari 2025 tersebut adalah kekeliruan.
Ia menyatakan kesiapannya menerima kritik sebagai bentuk pembelajaran.
"Saya meminta maaf sedalam-dalamnya kepada masyarakat, khususnya honorer dan PPPK, atas pernyataan saya pada RDP Rabu kemarin, khususnya pada frasa 'BEBAN NEGARA' yang kemudian saya anggap keliru," tulis Taufan, Kamis (13/2/2025).
Ia mengaku mendapatkan banyak kritik dari masyarakat, baik melalui media sosial maupun pesan langsung via WhatsApp.
Sebagai bentuk klarifikasi, Taufan juga membagikan poin-poin bahan rapat yang menurutnya dirangkum dari aspirasi masyarakat di berbagai daerah yang ia kunjungi.
Dalam dokumen itu, ia menyoroti berbagai permasalahan dalam penerimaan PPPK, seperti ketidakadilan dalam seleksi, dugaan pengangkatan berdasarkan "pesanan khusus," hingga beban fiskal bagi daerah.
Meski demikian, Taufan menegaskan bahwa permintaan maafnya adalah bentuk kesadaran dan pembelajaran pribadi.
"Saya kembali memohon maaf atas statement saya, semoga menjadi pembelajaran bagi saya pribadi," tutup anak buah Bahlil Lahadalia di Partai Golkar ini.
Pernyataan Taufan sebelumnya menuai kecaman dari berbagai pihak, termasuk pegiat media sosial dan pengamat kebijakan publik.
Tidak sedikit yang menilai bahwa anggaran untuk PPPK tidak seharusnya dianggap sebagai beban negara, melainkan sebagai bagian dari kewajiban pemerintah dalam memberikan kepastian kerja bagi tenaga honorer.
Terpisah, Politikus PDIP, Ferdinand Hutahean, menuding DPR lebih mementingkan anggaran untuk proyek di daerah pemilihan (dapil) mereka daripada nasib tenaga honorer yang telah mengabdi bertahun-tahun.
"Saya berpikir mereka-mereka ini memilih mengorbankan rakyat yang penting anggaran untuk proyek mereka tersedia," ujar Ferdinand kepada fajar.co.id, Kamis (13/2/2025) malam.
Dikatakan Ferdinand, DPR cenderung berusaha mengamankan proyek-proyek di dapil masing-masing untuk memenuhi janji politik mereka kepada konstituen.
"Ini kan dilema bagi mereka. Akhirnya berharap yang korban itu bukan mereka tapi orang lain," cetusnya.
Ferdinand menilai, tenaga honorer yang telah lama bekerja kini justru dikorbankan akibat keputusan politik yang lebih mengutamakan kepentingan proyek dibanding kesejahteraan rakyat kecil.
"Maka saya tidak heran kalau mereka memilih mengorbankan honorer yang sudah bekerja bertahun-tahun dan berharap diangkat," Ferdinand menuturkan.
Ia menyoroti realitas pahit yang dihadapi para honorer, di mana harapan untuk diangkat menjadi ASN atau PNS pupus karena pemerintah dan DPR lebih fokus pada pengalokasian anggaran bagi proyek-proyek tertentu.
"Mereka lebih mudah dikorbankan karena rakyat kecil," timpalnya.
Ferdinand bilang, hal ini mencerminkan karakter asli pejabat di negeri ini, yang lebih memilih mempertahankan kepentingan politik dan ekonomi mereka dibanding memperjuangkan nasib rakyat kecil.
"Inilah karakter asli negara kita, pejabat-pejabat kita. Memilih mengorbankan rakyat daripada kepentingan mereka di dapil," kuncinya.
Sebelumnya, anggota Komisi II DPR dari Fraksi Golkar, Taufan Pawe, mengungkapkan kekhawatiran bahwa penerimaan PPPK semakin membebani keuangan negara.
Terlebih di tengah upaya efisiensi anggaran yang sedang dilakukan Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
"Penerimaan PPPK ini betul-betul menjadi beban negara kita. Kita tidak bisa pungkiri, dan ini linear ke daerah," ujar Taufan dalam rapat di Gedung Parlemen, Jakarta, Rabu (12/2/2025) kemarin.
Kata Taufan, di berbagai daerah, muncul berbagai permasalahan terkait penerimaan PPPK, seperti dugaan rekayasa data pegawai hingga proses seleksi yang dinilai bermasalah.
"Negara memang harus hadir, tetapi ada keterbatasan kemampuan," ucapnya.
Dijelaskan Taufan, tidak semua daerah mampu merealisasikan kebijakan PPPK.
"Ada daerah yang punya kemampuan fiskal, bahkan ada APBD provinsi yang surplus," tambahnya.
Karena itu, ia meminta Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), Zudan Arif, untuk meninjau ulang kebijakan PPPK agar lebih realistis dan mempertimbangkan kondisi keuangan daerah.
"Dibutuhkan pemikiran yang rasional dan visioner supaya permasalahan ini bisa dilihat secara kasuistis," tegasnya. (fajar)