Jelang Bulan Suci, Harga Pangan Meroket Lagi, Tradisi?

  • Bagikan

* Oleh: A. Tenri Sarwan, S. M
(Aktivis Temantaatta/Dakwah Palopo)



Marhaban yaa Ramadhan, menghitung hari jelang menyambut yang dinanti. Bulan suci ramadhan yang penuh keberkahan. Tapi sayang kebahagiaan itu, lagi-lagi tersandera. Sebab, meroketnya berbagai kebutuhan pangan dibulan yang suci.

Badan Pusat Statistik (BPS) memberikan peringatan dini terkait potensi kenaikan harga sejumlah komoditas pangan menjelang bulan Ramadan 2025. Menurut BPS komoditas pangan yang menjadi perhatian utama adalah telur ayam ras, daging ayam ras, cabai merah, cabai rawit, dan minyak goreng.

Sementara di Pasar Taman Rawa Indah (Tamrin), Tanjung Laut Indah, Bontang Selatan, terpantau mengalami lonjakan signifikan.

Kenaikan harga paling mencolok terjadi pada minyak goreng dan gula, yang terus naik dalam beberapa minggu terakhir. Kenaikan harga sudah mulai terjadi sejak dua minggu lalu. Menurut Syamsiah seorang pedagang di Pasar Tamrin, kondisi tahun ini jauh lebih parah dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Mengapa hal ini terus berulang? seakan penguasa negeri sudah berada dijalan buntu tak mampu lagi menemukan solusi?

-- Penguasa Regulator Bukan Raa'in? --

Tradisi lonjakan harga pangan dibulan Ramadhan ataupun dihari keagamaan lainnya bukanlah hal tabu. Tapi menjadi momok tersendiri bagi masyarakat. Seakan-akan sudah menjadi hal biasa saat harga-harga naik, karena bagi masyarakat awam banyaknya permintaan tentu akan menyebabkan sulitnya barang ditemukan dengan harga yang terjangkau (read;mahal).

Masyarakat agaknya sudah skeptis lebih dahulu. Seolah itu hanya lagu lama yang sudah sering diputar.

Mau marah? Mau mengamuk? Toh tak akan ada yang berubah, cukup siapkan dana agar kebutuhan tetap bisa terpenuhi. Iya? jika masyarakat masih punya sumber dana yang siap dikuras. Tapi jika sudah tak ada? Apalah daya.

Sementara masyarakat kecillah yang paling banyak terkena dampak atas tradisi lonjakan harga pangan yang sudahlah mahal sulit pula ditemukan. Kadang harus berdesakan bahkan sampai mengorbankan nyawa.

Kemana data kebutuhan masyarakat pergi? Agaknya penguasa negeri masih memiliki data yang memungkinkan untuk dibaca bahwa trend permintaan masyarakat akan melambung jelang ramadhan dan hari raya keagamaan. Selayaknya seorang penguasa harusnya mereka mampu memperhitungkan dan menyiapkan langkah strategis agar kebutuhan masyarakat dapat diakses dengan mudah dan terjangkau. Tapi, lagi-lagi penguasa negeri sudah menunjukkan tabiatnya sejak awal.

Mereka menempatkan posisi sebagai regulator bagi masyarakat. Penguasa yang lahir dari sistem sekuler kapitalis tidak mungkin menjadi penguasa raa'in (pengurus) karena begitulah mereka dibentuk. Maka jika jelang ramadhan ataupun hari keagamaan lainnya yang sudah sangat jelas kebutuhan pangan masyarakat akan melonjak tak ada antisipasi yang dilakukan penguasa. Hasilnya hanya akan mengulang hal yang sama. Karena hadirnya penguasa regulator ini, hanya bisa berkata "aman" diawal saja, sebagai angin segar bagi masyarakat lalu diakhir kita tentu tau jawabannya?

Sampai kapan masyarakat mau menjadi penikmat janji-janji palsu? Problematika masyarakat hanya diberikan solusi tambal sulam bukan solusi yang benar-benar menjadi solusi. Menjaga stabilitas harga pangan adalah tanggung jawab penuh negara yang harus menjamin kebutuhan masyarakat. Titik. Dan hal itu tidak akan kita temukan pada penguasa yang hanya menjadi regulator dan fasilitator.

-- Hanya dalam Islam Penguasa Raa'in --

Islam agama yang sempurna dan paripurna yang hadirnya bukan hanya mengatur urusan manusia dengan Allah SWT. Tetapi juga mengatur urusan manusia dengan dirinya sendiri hingga mengatur urusan manusia dengan manusia yang lainnya.

Islam sudah menempatkan bahwa penguasa adalah orang yang bertanggung jawab memenuhi kebutuhan rakyat dan melindungi mereka. berdasarkan sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya imam (penguasa) adalah raa’in (pengurus) dan ia bertanggung jawab terhadap (rakyat) yang dipimpinnya” (HR Bukhari).

Maka sangat amat jelaslah dibutuhkan hadirnya penguasa yang mampu mengurusi urusan ummatnya dan itu hanya ada dalam sistem yang berlandaskan aturan dari Sang Pencipta.

Penguasa dalam sistem Islam akan memberikan akomodasi penuh untuk mendukung peningkatan pangan dalam negeri dengan adanya baitulmal yang sumber pemasukannya besar dari sektor sumber daya alam.

Negara dengan sistem Islam juga akan memastikan pemantauan dan pengendalian setiap saat untuk menghindari adanya praktik-praktik tidak islami yang merusak keseimbangan permintaan dan penawaran, sehingga masyarakat bisa mendapatkan bahan pangan dengan harga terjangkau. Bukan hanya murah tetapi juga mudah.

Praktik penimbunan, kecurangan, permainan harga, monopoli/oligopoli, dan mafia impor akan dipastikan diminimalkan bahkan dihilangkan mengingat sistem sanksi dalam sistem Islam yang mampu memberikan efek jera dan penebus dosa.

Sistem Islam yang mengelilingi kehidupan masyarakat tentu akan jauh dari praktik maksiat sebab, adanya tiga pilar kokoh, individu bertakwa, masyarakat berdakwah dan negara yang menerapkan syariah.

Alhasil, tak akan ada lagi tradisi lonjakan harga dihari keagamaan yang membuat masyarakat tak khusyuk dalam menjemput rezeki kelezatan ibadah dan ketaatan. Semua ini mustahil terwujud dalam sistem dengan penguasa yang hanya cukup sebagai regulator saja. Hal itu hanya didapatkan pada penguasa raa'in, penguasa sekelas Umar bin Khattab yang tak akan tidur sebelum memastikan masyarakatnya kenyang. Dalam sistem seperti apa penguasa itu dibentuk? Tentu hanya dalam sistem shahih bukan sistem rusak dan merusak. Siapkah kita mewujudkannya? Wallahu'alam bushshawab. (*)

  • Bagikan

Exit mobile version