Utak-atik Kewenangan Penegak Hukum

  • Bagikan

Oleh : Nurdin (Dosen IAIN Palopo)

DPR RI sedang mematangkan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang selama ini digunakan. Itu karena, usia KUHAP yang diundangkan pada tanggal 31 Desember 1981 sudah terbilang ketinggalan zaman.

Selain karena KUHAP sudah berumur, juga karena pidana materilnya (KUHP) telah diperbarui dan akan berlaku pada Januari tahun depan (tahun 2026). Sehingga untuk menyelaraskan antara keduanya, maka perlu pembaruan.

Sebuah peraturan seyogianya selalu mengikuti perkembangan zaman (karena bukan kitab suci) agar dapat mengejar peristiwa hukum yang terjadi, termasuk hukum acaranya yang sudah empat puluh tiga tahun lebih masa berlakunya.

Kata orang Belanda,"Het recht hink achter de feiten aan" yang bermakna "Hukum selalu tertatih-tatih mengejar peristiwanya" Ini menggambarkan, bahwa hukum dalam konteks peraturan (UU) tidak selalu bisa mengikuti perkembangan masyarakat.

Contohnya, terkadang ada sebuah peristiwa, tetapi peristiwa itu tidak dapat dipidana. Oleh karena, tidak diatur oleh UU yang ada saat ini. Sehingga untuk memidanakannya, maka perlu UU tersebut diubah atau direvisi dan memasukkan peristiwa itu sebagai tindak pidana atau dikriminalisasi.

Pada setiap kesempatan di depan kelas, saya sampaikan kepada mahasiswa bahwa "Undang-undang itu, jika dianalogikan dengan baju. Kalau Anda memiliki baju tahun 1981, apabila digunakan oleh Anda saat ini, tentu baju itu sudah tidak cocok lagi, demikian halnya sebuah peraturan".

Pembaruan KUHAP sangat diperlukan untuk mengejar ketertinggalannya. Selain itu, karena beberapa pasal dalam KUHAP juga sudah mengalami perubahan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), sebab dianggap bertentangan dengan UU Dasar 1945.

Misalnya pengertian saksi, tidak lagi hanya yang melihat, mendengar atau mengalami peristiwa, tetapi lebih luas dari itu. Kemudian, Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) harus disampaikan maksimal tujuh hari sejak terbitnya Surat Perintah Penyidikan, tidak hanya kepada penuntut umum melainkan juga tersangka dan pelapor (korban).

Namun demikian, yang tak kalah penting dari pembaruan KUHAP adalah pemisahan dan penguatan kewenangan masing-masing penegak hukum yang ada saat ini, seperti yang banyak dibicarakan oleh para pakar hukum pidana.

Haidar Alwi (Pendiri Haidar Alwi Institute), misalnya, mencontohkan bahwa "Dalam praktiknya di banyak negara, jaksa memang kerap terlibat dalam penanganan perkara sejak tahap penyidikan. Akan tetapi, hal itu tidak serta-merta membuat Indonesia juga harus menerapkannya, karena sistem hukum pidana di Indonesia berbeda dengan negara lain"

Yang membedakan sistem hukum Indonesia dengan negara lain, sebab di negara kita ada beberapa unsur hukum yang memengaruhinya, seperti hukum adat, agama dan juga termasuk nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Negara kita menganut sistem hukum Eropa kontinental sebagai konsekuensi bangsa jajahan Belanda. Akan tetapi, penggunaan sistem hukum tersebut tidaklah mutlak, sebab dipengaruhi oleh unsur-unsur hukum di atas.

KUHAP yang ada saat ini, hakikatnya sudah cukup melindungi hak-hak tersangka atau terdakwa dan di dalamnya juga sudah memisahkan dengan jelas wewenang Kepolisian sebagai penyelidik dan penyidik, jaksa sebagai penuntut dan hakim dalam fungsi peradilan.

"Jika wewenang itu diutak-atik misalnya, salah satu menyerobot kewenangan yang lain, maka keseimbangannya akan terganggu," Kata Haidar Alwi. Sehingga yang diharapkan dalam pembaruan KUHAP adalah penguatan peran masing-masing penegak hukum dengan tidak menyerobot kewenangan penegak hukum yang sudah ada dan sudah berjalan dengan baik selama ini.(*)

  • Bagikan