Bakar Kemenyan, Dilarang Islam?

  • Bagikan

Oleh : Nurdin (Dosen IAIN Palopo)

Kiai Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah mengatakan, bahwa "Islam datang bukan untuk mengubah budaya bangsa kita menjadi budaya Arab" Demikian pula, apa yang pernah Tan Malaka sampaikan "Belajarlah dari barat, tapi jangan jadi peniru barat, melainkan jadi murid dari timur yang cerdas"

Pernyataan kedua tokoh di atas, mengingatkan saya pada sebuah kisah menarik antara seorang pemuda dengan kakeknya. Di mana pemuda tersebut, pulang ke kampung halamannya setelah ia merampungkan studinya dari sebuah universitas Timur Tengah.

Dengan penuh semangat, ia berharap dapat segera menyampaikan apa yang telah ia peroleh di bangku kuliah. Setelah sampai di rumah, ia mendapat saran dari ayahnya untuk menengok kakeknya di kampung sebelah. Ia diminta sowan ke kakeknya yang ternyata bukan orang sembarangan.

Pemuda alumni kampus Islam ini terbilang cerdas. Terlebih ia telah menghafal Al-Qur'an di luar kepala berikut makna dan ragam tafsirnya. Sesampainya di rumah kakeknya, ia dapatkan kakeknya sedang berzikir. Namun, apa yang ia saksikan membuat dirinya kaget bukan kepalang.

Betapa tidak, sang kakek didapatinya tengah berzikir dan berdoa, dan di sampingnya mengepul asap putih lembut yang menebarkan aroma wangi bunga. Inilah yang membuat si cucu mengernyitkan dahi. Setelah si kakek memanjatkan doa, ia pun menemui kakeknya.

Si cucu mulai bertanya, "Kek, bukankah itu dilarang Islam?" Kakeknya dengan lembut balik bertanya, "Apa yang dilarang oleh Islam?" Si cucu menjawab, "Tentu saja membakar kemenyan dan bunga-bunga yang mengepulkan asap itu, Kek!".

Si cucu rupanya tidak mau berbasa-basi lagi, tetapi dengan lembut si kakek mulai memberi pemahaman. "Wahai cucuku, yang melarang itu Islam atau tradisi arab?" Rupanya penjelasan singkat itu membuat si cucu semakin mengernyitkan dahi.

Ketika si cucu terdiam lama, si kakek melanjutkan ucapannya, "Cucuku, aku mengerti. Mungkin kamu berpikir kalau apa yang aku lakukan ini bukan dari Islam, tetapi kamu harus bedakan, mana yang dari Arab dan mana yang dari Islam".

Kata kakeknya, "Di Arab tidak mengenal bunga-bunga, tetapi dikampung ini, sejak duhulu, yang namanya wewangian itu selalu menggunakan bunga dan kemenyan yang dibakar. Bukankah Rasulullah menyukai wangi-wangian?"

"Wangi itu universal, tetapi media untuk menciptakan wewangian itu sangat lokal dan tergantung pada budaya masing-masing. Orang boleh menggunakan parfum, orang boleh menggunakan kemenyan, orang boleh menggunakan sabun dan sebagainya, tetapi prinsipnya wewangian, bukan?" Kata si Kakek.

Si cucu seperti membeku mendengar penjelasan si kakek panjang lebar itu. Dalam hatinya, "Apa yang selama ini saya pahami sepanjang kuliah ternyata masih di wilayah kulitnya saja, belum menembus ke inti" Sang cucu lalu mengerti, bahwa persoalan ekspresi memang sangat tergantung unsur lokal dan tradisi.

Sehingga menutupi aurat, misalnya, sesuai dengan tradisinya masing-masing bisa menggunakan sarung, jubah, atau bahkan celana. Lantas mengapa kita suka terburu-buru untuk membuat sebuah kesimpulan ketika melihat perbedaan?(*)

  • Bagikan

Exit mobile version