Oleh: Abdul Pirol (Dosen IAIN dan Pengurus Ikatan Muballigh Kota Palopo)
Melintas di media sosial, ungkapan “status sebelum imsak.” Kata imsak lazimnya dikaitkan dengan puasa Ramadan. Saat ramadan tiba, beredar pula jadwal imsakiyah.
Memuat informasi mengenai waktu salat dan saat kapan mulai imsak (menahan atau berpuasa) dan berbuka. Masih mengenai jadwal, tertulis untuk wilayah Sulawesi, misalnya, imsak dimulai sekitar 10 (sepuluh) menit dari masuknya waktu salat Subuh. Boleh jadi, umumnya kaum Muslim sudah memahami bahwa waktu 10 (sepuluh) menit itu hanyalah waktu berjaga-jaga.
Semacam peringatan, yang jika azan subuh sudah dikumandangkan barulah “imsak” atau menahan yang sesungguhnya dimulai. QS. al-Baqarah/2:187 memuat petunjuk kapan batas waktu dimulainya puasa dalam arti menahan makan dan minum. Kalimat “status sebelum imsak,” sebagaimana judul, sepintas tidak memiliki konsekuensi khususnya pada ibadah puasa yang dikerjakan.
Tapi, melihat konteksnya dapat memberi makna tertentu yang dapat dikategorikan “keliru” atau salah.
Dampak ikutannya akan berpengaruh pada puasa: keabsahan dan nilai pahala yang dapat diperoleh.
Ungkapan “status sebelum imsak” memiliki kekeliruan dalam memahami makna imsak atau puasa. Ia seolah ingin mengatakan bahwa status yang diunggah itu, meskipun memuat informasi bohong, karena diupload “sebelum” imsak menjadi tidak masalah.
Dengan kata lain, unggahan itu meskipun memuat sesuatu yang dapat mengganggu makna puasa, tetapi karena diupload sebelum imsak, tidak akan merusak puasanya.
Status seperti tersebut, tidaklah sejalan dengan kandungan makna berpuasa. Secara formal, memang dinyatakan bahwa waktu berpuasa itu, sejak terbit fajar (subuh) hingga terbenamnya matahari (maghrib).
Pada kurun waktu tersebut, tidak boleh makan atau minum dan melakukan perbuatan yang membatalkan. Akan tetapi, puasa yang berhasil menuntut agar ucapan dan perilaku orang yang berpuasa mencakup keseluruhan waktu.
Melampaui masa berpuasa formal antara subuh dan maghrib. Suatu kekeliruan, jika memahami di luar waktu imsak, boleh melakukan hal yang dilarang yang dapat merusak puasa, seperti berdusta, menipu, dan melakukan perbuatan maksiat.
Puasa seharusnya dipahami bertujuan membentuk pribadi yang berintegritas. Pribadi utuh yang hidup kesehariannya dibingkai oleh sikap takwa. Karenanya, meskipun sudah berbuka, ia tetap menghindari perbuatan yang dilarang. Begitulah signifikansi berpuasa. Wallahu a’lam. (***)