PSU, Ujian Kualitas Demokrasi Kota Palopo

  • Bagikan

* Oleh: Asri Tadda
(Ketua DPW Gerakan Rakyat Sulawesi Selatan)


Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan gugatan pasangan calon (Paslon) FKJ-Nur menjadi babak baru dalam dinamika politik Kota Palopo. Implikasi dari keputusan ini bukan hanya pada pembatalan kemenangan Trisal Tahir dalam Pilkada 27 November 2024, tetapi juga mendiskualifikasinya dari pencalonan ulang.

Kota Palopo kini dihadapkan pada Pemungutan Suara Ulang (PSU), yang tak hanya mengulang kontestasi politik tetapi sekaligus juga menjadi ujian bagi kualitas demokrasi di daerah ini.

*Dinamika PSU dan Biaya Demokrasi*

PSU bukan sekadar pengulangan pemilihan, melainkan proses yang membawa konsekuensi besar. Dari sisi anggaran, biaya yang dikeluarkan tentu tidak sedikit. Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus mengalokasikan kembali dana untuk penyelenggaraan, sementara Paslon yang kembali bertarung harus merogoh kocek lebih dalam untuk berkampanye ulang.

Bagi keempat Paslon, PSU ini menuntut strategi baru untuk merebut hati pemilih yang kini lebih waspada terhadap dinamika politik.

Namun, yang lebih penting dari sekadar biaya adalah bagaimana PSU ini menguji kematangan demokrasi masyarakat Palopo.

Dalam kontestasi politik sebelumnya, sentimen emosional kerap menjadi faktor dominan dalam menentukan pilihan. Pertanyaannya, akankah pola ini berulang, atau justru terjadi pergeseran ke pola pemilih yang lebih rasional?

*Emotional Voters vs Rational Voters*

Demokrasi yang berkualitas ditandai dengan pemilih yang cerdas, yang mampu memilah calon berdasarkan gagasan, rekam jejak, dan kapabilitas, bukan sekadar karena faktor kedekatan emosional atau fanatisme politik.

PSU memberikan kesempatan bagi masyarakat Palopo untuk kembali mengevaluasi pilihan mereka.

Apakah pemilih masih akan terjebak dalam politik identitas, janji-janji manis yang sulit direalisasikan, ataukah mereka akan menggunakan kesempatan ini untuk memilih pemimpin yang benar-benar membawa perubahan?

Jika PSU hanya menjadi ajang pengulangan pola lama—dengan politik uang, politik balas budi, dan sentimen emosional—maka demokrasi di Palopo belum benar-benar dewasa.

Sebaliknya, jika pemilih mulai lebih selektif, mempertimbangkan rekam jejak dan visi-misi yang realistis, maka PSU ini bisa menjadi titik balik menuju demokrasi yang lebih matang.

*Kesempatan Memilih Pemimpin yang Lebih Baik*

Dengan diskualifikasinya Trisal Tahir, peta politik Kota Palopo jelas mengalami perubahan signifikan. Paslon yang tersisa kini kembali memiliki peluang yang relatif seimbang.

PSU menjadi momentum bagi masyarakat untuk memastikan bahwa mereka memilih pemimpin yang tidak hanya populer, tetapi juga memiliki kapasitas dan integritas untuk membawa Palopo ke arah yang lebih baik.

Demokrasi sejatinya bukan hanya soal memilih, tetapi juga soal bagaimana masyarakat memahami bahwa setiap suara yang diberikan akan menentukan arah kebijakan dan pembangunan di masa depan.

Jika PSU ini disikapi dengan kedewasaan politik, maka hasilnya tentu bukan sekadar pergantian pemimpin, melainkan juga peningkatan kualitas demokrasi dan tentu saja, perbaikan masa depan Kota Palopo untuk 5 tahun mendatang.

Kini, pilihan ada di tangan warga Palopo. Apakah akan tetap menjadi emotional voters, atau bertransformasi menjadi rational voters? PSU nanti adalah ujian sesungguhnya. (*)

  • Bagikan