(Dosen IAIN dan Pengurus Ikatan Muballigh Kota Palopo)
Air di gelas, sejak malam hari diletakkan di atas meja. Tapi, di Ramadan, air itu sampai malam lagi, tidak berkurang. Karena sepanjang hari puasa. Pasca Magriblah kebolehan minum dan makan tentunya.
Ilustrasi ini mengundang keingintahuan. Spirit apa yang bekerja mengendalikan dorongan untuk minum. Meminum air atau tidak. Namun, air tetap utuh, karena pemiliknya sedang berpuasa.
Tidak berbeda dari mereka yang berdagang makanan di bulan Ramadan. Tetap buka di siang hari. Melayani yang tidak berpuasa. Tidak berpuasa dengan kebolehan dari agama. Tidak mutlak meminta warung untuk tutup di siang hari. Karena ada orang-orang yang boleh tidak berpuasa.
Baik karena alasan umur dan kesehatan maupun pekerjaan. Ataupun sedang bepergian sebagai musafir. Atau karena mereka bukan Muslim yang dikenai kewajiban berpuasa. Masyarakat plural yang memiliki kedewasaan beragama semakin dapat menerima kondisi seperti tersebut.
Para pelayan warung atau restoran, melayani mereka yang makan sedang mereka sendiri berpuasa. Para pedagang yang menyiapkan kue dan makanan untuk buka puasa, juga berpuasa saat mengolah bahan-bahan makanan dan kue. Sudah lumrah dan menjadi pengalaman beragama. Pengalaman mengamalkan agama. Tetap berpuasa, meskipun sedang bergelut menyiapkan takjil. Daya apa yang membuat orang-orang mampu menjaga puasanya. Padahal boleh terjadi, mereka seolah berpuasa, meskipun telah makan dan minum tanpa diketahui orang lain.
Pertama, karena iman yang kokoh. Inilah alasan mendasar. Imanlah menjadi benteng. Melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kedua, sudah berniat puasa. Sehingga apapun yang menjadi pantangan, yang membatalkan puasa dapat dilalui. Dengan ringan tanpa penyesalan. Menerima kondisi berpuasa, yang seharusnya memang mengikuti ketentuannya.
Ketiga, air atau makanan yang menjadi “godaan” tidak cukup kuat untuk meluluhkan hati dan merontokkan iman. Daya tembus godaannya hanya singkat. Air minum (segelas) paling hanya menghilangkan haus sesaat. Ia bukan sesuatu yang dapat disimpan untuk jangka waktu yang lama dan memberi rasa kenyamanan (seolah-olah) serta kemewahan hidup. Dalam kasus ini, meskipun ada kesempatan, belum mampu menembus benteng pertahanan iman. Iming-iming kebahagiaan dan kenyamanan yang ditimbulkannya sangatlah lemah.
Simulasi berikutnya, misalnya, dihadapkan pada “godaan” yang menjanjikan bayangan kenikmatan yang sangat besar dan dapat mengatasi kesulitan-kesulitan hidup dalam waktu yang lama. Harapan seperti itu, boleh jadi, dapat menggetarkan dan meruntuhkan kekuatan iman. Apalagi jika didukung oleh adanya kesempatan dan kuatnya dorongan hawa nafsu (gelap mata). Dalam sejumlah analisa, terjadinya suatu bentuk pelanggaran atau kejahatan, setidaknya dipengaruhi oleh tiga faktor: iman, kesempatan, dan keinginan. Faktor keimananlah yang menjadi kunci.
Meskipun ada keinginan dan kesempatan, jika iman seseorang kuat, niscaya dia tak akan terjerumus melakukan kejahatan atau pelanggaran. Nabi Muhammad saw. bersabda, “Tidaklah beriman seorang pencuri saat ia sedang mencuri”. Begitulah arti penting iman dalam kehidupan. Wallahu a’lam.(*/)