Almarhum Prof Halide.
Oleh: armin mustamin toputiri
HALIDE, nama yang kental dengan aksentuasi Bugis. Serapan bahasa Arab, “Khalid” berati; kekal abadi. Nama Khalid melekat pada sosok panglima perang dari klan aristokrat suku Quraisy. Setelah memeluk Islam, ia berperan penting dalam sejarah awal Islam, lewat beberapa peperangan dan penaklulan.
Professor Halide, wafat siang tadi. Mengingatkan saya pada satu sejawatnya lagi, Profesor Kustiah Kristanto. Dua GUru Besar Fakultas Ekonomi Unhas ini, memberi saya “pembelajaran”. Meski telah berlalu sekira 40-an dan 30 tahun lalu, tapi ajarannya kuat melekat dalam memori ingatan saya.
Halide kala itu Sarjana Ekonomi, sosok yang gesit, tangkas dan cerdas. Dia salah satu pengurus DPP IMMIM yang diketuai H Fadeli Luran. Halide sesekali datang mengajar di Pesantren IMMIM, tapi di era saya hanya sesekali datang, memberi ceramah motivasi agar tekun menuntut ilmu.
Sepenggal kalimat ceramahnya kala itu, kuat mempengaruhi perjalanan hidup saya; “Mencari ilmu itu bisa didapatkan dimana saja. Contohi saya, masa remaja saya, susah dapat koran. Maka, kalau saya ketemu sobek-sobekan koran, saya pungut, lalu saya baca. Dari sobekan koran itu, saya dapat ilmu…”
Waktu bergulir, saat memimpin Senat Mahasiswa, saya mengundang Bu Kustiah ikut jadi pembicara seminar. Saya datang ke kediamannuya menjemput makalah. Kok? Muka saya berkerut, makalahnya diketik di atas kertas bekas. Sebelah kertas yang telah terisi, disilang. Sebelah diisi ketikan makalahnya. Melirik muka saya berkerut, bu Kustiah menegur, “Daripada kertasnya dibuang!”.
Setelahnya, ajaran Halide juga ajaran Kustiah, saya padu. Masa kuliah, saya tak langganan koran. Tapi, tiap akhir bulan saya keliling menjemput tumpukan koran bekas di rumah teman yang orangtuanya langganan koran. Selesai membaca, artikel menarik dan penting, saya gunting. Lalu menempelnya di atas kertas bekas skripsi teman-teman kuliah saya. Hasilnya, klipping koran.
Sialnya, suatu kali Ibu saya datang dari kampung, tak tega melihat rumah saya bertumpuk koran bekas, juga guntingan-guntingan yang bertabur tak beraturan, dilantai. Jalan pintas, ibu saya membakarnya. Duh! “Tanggalnya kan sudah mati nak, jadi saya bakar saja. Daripada rumahmu kotor”.
Syukurlah, sebagian telah mewujud klipping. Giliran teman-teman kuliah butuh butuh reference untuk penyusunan skripsi – era itu hanphone dan saluran internet belum ada – kumpulan klipping itu jadi rebutan. Boleh, syarathnya nanti datang jemput copiyannya. Tak gratis, tukar sebungkus rokok hi hi hi..
Sisa-sisa klipping koran bekas itu, hingga kini masih menumpuk di perpustaakn pribadi saya di rumah. Sekian tahun lalu, ibu saya bahagia karena tak melihat tumpukankoran bekas itu lagi. Ibu saya tak tahu jika ukoran-koran bekas itu, kini telah berada dalam dokumen digital perpustakaan saya.
Selamat berpulang Prof Halide, sesuai pengartian namanya “kekal abadi”. Ajarannya pun, kekal abadi.
Makassar, 29 Maret 2025