Setinggi Apa pun Sekolahmu, Pulanglah Mengikat Burasa’ (Buras)

  • Bagikan

Oleh : Nurdin (Dosen IAIN Palopo)

Boleh jadi Anda pernah mendengar kalimat yang menjadi judul tulisan ini. Sepintas, kalimat itu rada mengejek bagi seorang anak di perantauan yang sedang atau usai menuntut ilmu, tetapi sesungguhnya mengandung makna yang dalam.

Tadi pagi saya membaca sebuah tulisan yang menarik oleh Amin Bakri. Tulisan itu bercerita tentang filosofi mengikat buras. Seperti diketahui, bahwa budaya masyarakat di Sulsel menjelang hari raya Idul Fitri selain membuat (bikin) ketupat juga membuat (bikin) buras.

Berikut kata Amin Bakri; Buras (burasa') adalah makanan khas orang Bugis-Makassar (Sulsel). Terbuat dari beras yang dimasak setengah matang, lalu diaron bersama santan kelapa, pula sedikit garam sebagai perasa gurih. Setelah diaron, beras setengah matang dibungkus daun pisang.

Sewujud bantal bersegi panjang. Disusun tiga lapis (merujuk ke tiga tingkatan alam: dunia, barzakh, dan akhirat) lalu diikat rapat dengan tali pelepah pohon pisang (kini diganti dengan tali berbahan plastik, Rumput Jepang kata orang Makassar ). Sampai di sini buras belum jadi. Harus direbus tak kurang dari empat jam lamanya.

Bagi perantau Bugis-Makassar, buras adalah bekal. Tanpa bahan pengawet dan mesin pendingin, makanan ini bisa bertahan 3 hari. Persis lama perjalanan Makassar-Jakarta via kapal laut. "Tak ada cerita instan untuk sebuah bekal" Bekal harus disiapkan, bahannya harus dipilih, diolah dengan cermat, terampil, sabar, dan juga lelah. Oleh karena, "Kesenangan membutuhkan perjuangan" Itu 'big point'- nya.

Lalu bagaimana dengan mengikat buras? Jika tak biasa, daun pembungkus bisa sobek, beras bisa tercecer, tak jarang harus kerja ulang. Tapi sejatinya, value membungkus buras bukan di situ. Filosofinya ada di sini: duduk melingkar bersama keluarga jelang hari raya, bercerita, berbagi, saling memahami dan saling mendukung, sesekali tertawa ataupun saling menggoda. Tentu saja sambil mengikat buras.

Itulah pelajaran sederhana yang sarat makna. "Kesenangan tak cukup bagi manusia. Kebahagiaan jauh lebih penting" Setelah buras matang, pun tak bisa langsung dimakan. Rasanya jadi enak jika sudah didiamkan sampai suhu kamar (dingin). "Butuh pengendalian diri untuk menikmati hidup yang sejati"

Inilah momen yang dirindukan tiap jelang lebaran seperti saat ini. Sayangnya, kini orang Sulsel yang bermukim di wilayah urban (Kota) umumnya tinggal pesan di warung coto langganan. Angkat telepon dan transfer uang, buras pun datang sesuai jumlah orderan.

Hidup serba terburu-buru dengan setumpuk aktifitas yang tak pernah habis tak lagi memberikan ruang bagi kegiatan yang penuh makna ini. Olehnya itu, "Setinggi apa pun sekolahmu, sementereng apa pun profesimu, tetaplah mengingat filosofi mengikat buras".

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar….Walillahil Hamd. Taqabballahu minna wa minkum, syiamana wa syiamakum (mudah-mudahan Allah menerima amal ibadah kami dan kalian, puasa kami dan puasa kalian). Selamat hari raya Idul Fitri. Mohon maaf lahir dan batin.(*)

  • Bagikan