Luwu Raya Rawan Bencana, Mari Jaga Alam

  • Bagikan
Foto udara kondisi Sungai Suli di Desa Poringan, Kec. Suli Barat, Kab. Luwu, yang dangkal akibat sedimentasi. Nampak juga pegunungan yang hutannya sudah dibabat habis menjadi lahan pertanian warga. --IDRIS PRASETIAWAN/PALOPO POS--

Imbas Masifnya Pembukaan Lahan Pertanian dan Aktivitas Pertambangan

PALOPOPOS.FAJAR.CO.ID, PALOPO -- Cuaca ekstrem semakin berkepanjangan. Membuat khawatir masyarakat, lantaran bisa berdampak datangnya bencana, seperti banjir dan longsor. Bencana itu sebenarnya tidak terjadi jika alam tetap terjaga. Namun, kenyataannya sekarang alam sudah dirusak oleh manusia sendiri. Mulai dari aksi masif pembukaan lahan perkebunan hingga eksplorasi pertambangan.

Luwu Raya dengan intensitas curah hujan yang cukup besar, menandakan lahannya subur. Hal inilah yang mengundang banyaknya warga melakukan pembukaan lahan di pegunungan. Alhasil, tutupan hutan pun semakin berkurang, sebagai penyangga serapan air hujan. Tanpa adanya hutan, erosi terjadi. Banjir dimana-mana, sungai menjadi dangkal.

Seperti yangt terjadi baru-baru ini, sebanyak 800 rumah dari dua kecamatan di Kabupaten Luwu, terendam banjir. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) menyebut banjir diakibatkan curah hujan yang tinggi.

Peristiwa banjir tersebut terjadi di Kecamatan Suli dan Kecamatan Suli Barat. Di Kecamatan Suli Barat yang terendam yakni Desa Salubua, Desa Muhajirin, Kelurahan Lindajang, Desa Buntu Barana, Desa Kaili. Sedangkan di Kecamatan Suli yang terdampak yakni Kelurahan Suli, Kelurahan Murante, Desa Buntu Kunyi, dan Desa Lempopacci.

Meluapnya aliran Sungai Suli dampak dari hilangnya tutupan hutan di bagian atas pegunungan Latimojong.
Dari data BPBD Sulsel sepanjang 2025 sampai saat ini sudah terjadi 125 kejadian, cuaca ekstrem 54 kejadian, pohon tumbang 471 kejadian, tanah bergerak 17 kejadian.

Hasil kajian spasial menunjukkan bahwa hutan di Sulsel yang berubah fungsi menjadi non-hutan mencapai 69.323 Ha. Sementara hutan yang tidak mengalami perubahan 1.297.643,22 Ha. Perubahan fungsi hutan paling banyak menjadi belukar yang luasannya mencapai 35.290,67 Ha.

Demikian Palopo Pos mengutip dalam buku “Membaca Hutan Sulawesi Selatan: Kondisi, Ancaman, Legalitas dalam Pengelolaan Hutan” yang diterbitkan Perkumpulan Jurnalis Lingkungan Sulawesi Selatan (JURnal Celebes).

Direktur JURnal Celebes, Mustam Arief, sekaligus editor buku ini menjelaskan bahwa perluasan lahan pertanian juga berkontribusi pada pengurangan hutan, total perubahan hutan menjadi pertanian seluas 25.071,67 Ha.
“Alihfungsi hutan menjadi lahan pertanian tentu akan mengganggu fungsi lingkungan atau jasa ekosistem,” katanya.

Akan tetapi alihfungsi hutan untuk sektor pertanian ini mengindikasikan bahwa ada tuntutan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan yang mendorong pilihan tersebut. Oleh sebab itu, diperlukan upaya serius dari pemerintah untuk menjaga hutan tetap lestari namun tetap menjamin kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan.

Deforestasi dan degradasi hutan di Sulsel umumnya terjadi akibat pembukaan lahan untuk pertanian dan perkebunan, pembalakan liar oleh masyarakat untuk kepentingan industri, dan pertambangan.

Deforestasi terbesar di Sulsel terjadi pada tahun 2015-2016, mencapai 30.144,92 hektare. Hasil penelusuran lebih lanjut, deforestasi pada tahun tersebut terbesar terjadi di Kabupaten di Kabupaten Luwu Timur dan Luwu Utara, masing-masing seluas 18.718,14 Ha dan 4.159,64 Ha.

Data ini menunjukkan bahwa semakin luas ekosistem hutan suatu wilayah, maka dorongan terjadinya deforestasi juga meningkat. Akan tetapi, di daerah lain yang memiliki ekosistem hutan luas seperti di Tana Toraja dan Toraja Utara, tren deforestasinya tidak semasif di Kabupaten Luwu Timur dan Luwu Utara.

“Artinya, deforestasi juga bergantung pada tata kelola SDA di suatu daerah dan peran serta masyarakat dalam menjaga ekosistem hutannya.”
Sementara itu, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Kebencanaan Universitas Hasanuddin (Unhas) Ilham Alimuddin mengungkapkan Kabupaten Luwu menempati posisi pertama pada Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI) di Sulawesi Selatan.

"Dari 24 kabupaten kota di Sulawesi Selatan, Luwu yang memiliki IRBI tertinggi atau nomor satu berdasarkan survei kaji cepat penanganan bencana banjir dan tanah longsor," ungkap Ilham dalam suatu Diskusi Publik "The Society of Indonesian Enviromental Journalists (SIEJ) Simpul Sulawesi Selatan" di Balai Rehabilitasi Wirajaya, Makassar, beberapa waktu lalu.

Ahli Geologi itu mengemukakan kondisi tanah Luwu memang sering kali mengalami bencana ekologis, bahkan pada awal Mei 2024 lalu, dihantam banjir disusul tanah longsor di beberapa titik. Kejadian bencana tersebut, kata dia, sedikit banyaknya dipengaruhi oleh karakteristik tanah di daerah itu, seperti sebagian besar termasuk jenis tanah longsor translasi (debris slide) dan terjadi pada tanah tebal yang merupakan pelapukan dari batuan metamorf.

Sementara kondisi geologi wilayah tanah Luwu, khususnya di Kecamatan Latimojong yang mengalami longsor itu, kata dia, berada pada formasi batuan filit atau batuan keras yang berlapis tipis sudah lapuk di atas. Namun sebagian di bawahnya tidak mengalami lapuk hingga menyebabkan lapisan tidak lapuk ini menjadi licin, kemudian mendorong tanah lapuknya ke bawah lalu menjadi longsor.

Ia pun menyarankan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Luwu dapat berkoordinasi dengan Kementerian/Lembaga (K/L) terkait untuk melaksanakan survei dan pemetaan lanjutan pada titik longsor yang belum terpetakan yakni prioritas di permukiman untuk memastikan apakah perlu dilakukan relokasi atau tidak, serta mitigasi apa yang diperlukan.

"Terpenting melakukan pemantauan hulu sungai secara rutin dan terprogram. Kemudian koordinasi antara Dinas terkait dan peningkatan kapasitas serta edukasi masyarakat terkait pengetahuan risiko maupun mitigasi bencana wilayah masing-masing," kata Ilham.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulsel Muhammad Al Amin menambahkan bencana yang terjadi di Luwu tersebut sedikit banyaknya dipengaruhi alih fungsi hutan menjadi lahan serta maraknya kondisi kerusakan lingkungan.

"Mestinya pascabencana ini semua stakeholder harus bisa duduk bersama mencari solusi guna menekan kasus bencana alam serupa yang terjadi secara rutin itu bila musim penghujan datang, termasuk menghadirkan kurikulum sekolah berbasis kebencanaan," kata Amin.

Gubernur Soroti Tambang
Sementara itu, adanya rencana kerjasama perusahaan tambang di Luwu menjalin kerja sama Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc untuk proyek tambang emas berskala besar apalagi dengan metode Open Pit di wilayah Luwu, mendapat perhatian serius dari Gubernur Sulsel, Andi Sudirman Sulaiman.

Andi Sudirman menyampaikan kekhawatirannya terhadap dampak lingkungan dan ketimpangan yang ditimbulkan oleh proyek tersebut, yang disebut-sebut akan membentuk kubangan raksasa layaknya tambang Freeport di Timika, Papua.

“Kita akan menyurati Bapak Presiden untuk meminta evaluasi ulang atas izin tambang di Luwu. Pertama terkait siapa yang mengelola dan bagaimana metode pengelolaannya. Ini menyangkut masa depan lingkungan apalagi jika metode Open Pit dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini juga tidak sesuai arahan Bapak Presiden terkait kekayaan alam lokal wajib dikelola oleh pengusaha lokal bukan perusahaan Jakarta apalagi asing” tegas Andi Sudirman kepada media, Senin (14/4/2025).

Ia menegaskan bahwa kewenangan perizinan tambang berada di pemerintah pusat. Namun, sebagai kepala daerah, ia merasa perlu menyampaikan aspirasi dan kegelisahan masyarakat Sulsel terkait dampak jangka panjang dari aktivitas tambang berskala besar tersebut.

“Kita semua tahu bagaimana kondisi di sekitar tambang Freeport. Kubangan besar, penebangan pohon di mana-mana, dan rakyat Papua belum juga sejahtera sampai hari ini. Perusahaan luar yang menikmati, lokal yang menderita baik ekonomi maupun isu lingkungan. Jangan sampai Luwu mengalami hal yang sama. Sekarang saja sudah jadi langganan banjir sampai hari ini. Pengelolaan dari luar akan menimbulkan ketimpangan serta kurang berpikir terkait keselamatan lokal apalagi kesejahteraan warga. Dua kali kena kita” ujarnya.

“Yang menikmati justru bukan orang lokal tapi hanya penerima dampak serta penderitaan. Ini tidak sesuai dengan arahan Presiden yang ingin agar pengelolaan kekayaan alam dikuasai oleh perusahaan lokal bukan Jakarta apalagi luar. Jika lokal tentu ikatan dengan warga sekitar, ekonomi serta isu lingkungan bisa lebih diperhatikan" tambahnya.

Andi Sudirman juga menyinggung persoalan banjir yang masih rutin melanda sejumlah wilayah di Luwu. Menurutnya, pembukaan lahan baik secara legal maupun ilegal telah memperparah kondisi lingkungan dan berdampak langsung terhadap masyarakat kecil, terutama yang tinggal di sepanjang bantaran sungai hingga pemukiman puluhan kilometer.

“Pembangunan yang mengabaikan moral dalam pengelolaan serta daya dukung lingkungan akan selalu dibayar mahal oleh masyarakat kecil. Karena itu, kita harus bicara, kita harus minta Bapak Presiden mempertimbangkan ulang,” tegasnya. (idr)

  • Bagikan

Exit mobile version