* Haeril Al Fajri
(Direktur MIND)
Kota Palopo dalam kurun waktu lima belas tahun terakhir mengalami perkembangan pesat dalam dunia pendidikan khususnya perguruan tinggi. Beberapa perguruan tinggi bahkan berhasil beralih status menjadi universitas. Saat ini berdasarkan data Kota Palopo Dalam Angka 2025 Badan Pusat Statistik (BPS) tercatat ada tiga belas perguruan tinggi yang beroperasional di Kota Palopo.
Berdasarkan data tersebut menempatkan kota Palopo sebagai kota kedua setelah Kota Makassar yang memiliki jumlah perguruan tinggi terbanyak di Provinsi Sulawesi Selatan.
Mungkin itulah yang mendasari Kota yang dulu berjuluk Kota Idaman ini, familiar dengan julukan Kota Pendidikan.
Tapi, apa sebenarnya makna Kota Pendidikan, apakah hanya karena memiliki institusi pendidikan yang jumlahnya banyak secara kuantitas atau ada entitas lain yang melekat pada Kota Pendidikan?
Pada tulisan singkat ini, saya mencoba mengurai secara empiris beberapa hal sehubungan dengan fenomena pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Palopo;
_Pertama,_ Kota Pendidikan selayaknya menjadikan kampus sebagai lokomotif intelektual disebuah daerah, baik yang berhubungan dengan hal yang bersifat akademis maupun kebijakan pemerintah daerah. Kita bahkan sangat memahami konsep Pentahelix yang berkembang menjadi Hexahelix Collaboration dalam pembangunan daerah.
Tapi yang dapat kita cermati di kota ini bahwa, kampus tetap sibuk dengan aktifitas akademiknya dan masyarakat kota tetap sibuk dengan riuh kota yang bising. Anda dapat melihat dari ribuan jumlah tenaga pendidik di perguruan tinggi kota ini, ada berapa jumlah tenaga pendidik yang aktif, dalam ruang aktivitas kemasyarakatan untuk memperkuat struktur sosial masyarakat yang berekonomi lemah dan berpendidikan rendah.
_Kedua_ , memontum Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota adalah tamparan bagi julukan Kota Pandidikan. Kota Pendidikan tergerus pada praktek money politik yang memilukan dan memalukan. Hampir tidak ada ruang yang tersisa bagi etikabilitas dan intelektualitas.
Diskusi disesaki dengan pembicaraan amplop. Kita lupa bahwa Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota memiliki Visi Misi dan program yang lebih layak diperbincangkan.
_Ketiga_ , yang dimintai pendapat dan viral diberbagai media sosial bukan para pakar, akademisi atau praktisi yang menganggap dirinya lebih mumpuni secara gelar akademik.
Itulah yang saya sebut Anomali.
Sepertinya benar kata Robin Sharma
penulis buku MegaLiving, sebuah buku tentang manajemen stres dan spiritualitas asal Kanada, bahwa; _orang biasa menyukai hiburan dan orang luar biasa menyukai pendidikan._
Apakah pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Palopo hanya sekadar hiburan ataukah penting sebagai pendidikan?
wallahu a'lam bishawab. (*)
PALOPO: ANOMALI KOTA PENDIDIKAN (Bagian I)
