Dr Yahya MA Antropolog Unhas
("Respons Balik Atas Pernyataan Sikap Petani dan Perempuan Loeha - ''Bukan Kami yang Merusak, Tapi Tambang yang Menghancurkan Masa Depan'")
Penulis: Dr Yahya MA Antropolog Unhas
Opini saya "Tanam Merica di Hutan Lindung: Siap-siap Korbankan Masa Depan untuk Keuntungan Sesaat" disikapi oleh “Petani dan Perempuan Loeha” sebagai menyesatkan dan gagal melihat realitas, abai terhadap konteks sejarah, pengalihan fokus dari dampak pembangunan, stigmatisasi terhadap petani lokal, dan kurang perspektif keadilan sosial dan ekologis.
Sikap itu penting untuk saya respons. Tujuannya untuk menunjukkan posisi akademik saya dalam menyoroti isu deforestasi dan sekaligus menegakkan marwah institusi Unhas yang ikut terseret. Adapun respons saya atas sikap tersebut akan saya uraiakan sebagai berikut:
Pertama, apakah opini saya menyesatkan dan gagal melihat realitas? Ataukah opini saya lebih jujur dan lebih kritis melihat realitas dalam menyoroti isu deforestasi, degradasi lahan yang berdampak bagi krisis iklim dengan kasus di Kawasan hutan Lindung Tanamalia?
Saya tidak menafikan besarnya kontribusi industri besar seperti tambang, perkebunan kelapa sawit, dan logging skala idustri bagi terjadinya deforestasi, meluasnya degradasi lahan dan krisis iklim. Tapi karena hal itu telah menjadi wacana publik dan telah ada produk kebijakan yang mengaturnya, bahkan sejumlah pelaku bisnis telah meresponsnya dengan berupaya melakukan pengelolaan lingkungan secara berkelanjutan, maka saya tidak membicangkan hal tersebut. Sudah seabrek pembahasan tentang itu.
Hal yang kontribusinya cukup signifikan bagi terjadinya deforestasi, degradasi lahan yang berdampak bagi krisis iklim dan relatif sunyi dari perbincangan publik ialah petani yang mempraktikan kegiatan bercocok tanam yang orientasinya bukan untuk pemenuhan kebutuhan domestik, melainkan untuk memenuhi permintaan pasar. Atas dasar itu sehingga saya menyuarakannya dengan kasus petani merica di kawasan hutan lindung Tanamalia. Bersyukur suara saya mendapatkan respons dari petani dan perempuan Loeha, meskipun responsnya menegasikan semua opini saya.
Masyarakat petani yang orientasinya untuk pemenuhan kebutuhan domestik cenderung membudidayakan tanaman pangan skala kecil dan dilakukan secara tumpang sari. Orientasi dan praktik bercocok tanam yang demikian itu, selain tidak ekspansif terhadap kawasan hutan, juga mempertahankan kesuburan tanah tanpa menggunakan input kimiawi. Dengan demikian relatif tidak berkontribusi bagi deforestasi, degradasi lahan, dan krisis iklim.
Masyarakat petani yang orientasi dan praktik bercocok tanamnya seperti itu dalam antropologi dilabeli sebagai Peasent.
Berbeda halnya dengan petani yang orientasinya untuk memenuhi permintaan pasar dan profit. Mereka membudidayakan tanaman komesial secara monokultur, menggunakan input pupuk kimia dan pestisida serta cenderung memperluas lahan untuk memaksimalisasi produksi dan profit. Masyarakat petani seperti ini dalam antropologi dilabeli sebagai farmer.
Lalu apakah petani yang membudidayakan tanaman merica di kawasan hutan lindung Tanamalia dengan lahan puluhan hektoare, menggunakan tenaga kerja untuk merawat tanaman dan memanen hasilnya dengan produksi ratusan hingga ribuan kilogram sekali panen dan hasil penjualan ratusan juta rupiah masih dapat kita kategorikan sebagai peasent? Atau istilah yang digunakan oleh Petani dan Perempuan Loeha “menanam merica sebagai strategi untuk bertahan hidup.” Atau mereka sesungguhnya sudah termasuk dalam kategori farmer?
Skripsi mahasiwa antropologi Unhas dengan judul “Kampung Pencetak Dollar”: Studi tentang Strategi Ekonomi Masyarakat di Desa Bantilang, Kecamatan Towuti, Kabupaten Luwu Timur" memberikan jawaban yang gamblang terhadap pertanyaan tersebut.
Hasil penelitian yang disarankan untuk saya baca ‘Lumbung Merica Nusantara Di Tengah Perluasan Pertambangan Nikel: Etnografi Perkebunan & Valuasi Ekonomi Kawasan Tanamalia, Luwu Timur, Sulawesi Selatan’ dan Lembar Fakta ‘Riset Lumbung Merica Nusantara di Tengah Perluasan Pertambangan Nikel PT Vale Indonesia di Blok Tanamalia’. Meskipun hasil penelitian itu belum saya baca, tetapi kesan saya penelitian tersebut lebih fokus pada aspek sosial ekonomi, bukan isu deforestasi dan degradasi lahan. Boleh jadi juga pendekatan etnografi yang digunakan ialah etnografi humanistik yang tanpa kritis menyuarakan suara subjek.
Etnografi seperti itu serupa dengan studi antropologi ekologi sebelum tahun 1950-an yang lebih fokus pada adaptasi manusia dengan lingkungan mereka dan selalu melihat hubungan manusia dengan lingkungan mereka dalam bingkai yang harmonis.
Antropologi ekologi pasca 1950an lebih menaruh perhatian di antaranya pada isu lingkungan (deforestasi, degradasi lahan, dan krisis iklim), keberlanjutan dan kearifan local dengan menggunakan pendekatan ekologi politik, seperti bagaimana kapitalisme global telah mengubah pandangan dunia dan cara hidup petani lokal yang kemudian berkonsekuensi bagi munculnya masalah lingkungan. Jika masih menggunakan paradigma antropologi ekologi sebelum 1950-an dalam menyoroti masyarakat petani, maka hasilnya gagal mengungkap praktik nyata yang dilakoni oleh petani lokal yang telah terkoptasi oleh kapitalisme global, dan akibatnya cenderung meromantisasi cara hidup petani.
Kedua, opini saya dianggap abai terhadap konteks Sejarah. Oleh karena opini saya lebih focus pada isu deforestasi, maka sejarah keberadaan perusahaan tidak dibincangkan. Sekiranya isu yang dibicarakan berkenaan marginalisasi dan resistensi masyarakat lokal terhadap perusahaan, maka pembahasan terarah pada isu tersebut. Kita akan membicarakan bagaimana proses terjadinya Kontrak Karya (KK) pada tahun 1968, berapa jumlah penduduk yang bermukim di dalam kawawasan KK kala itu yang kita sebut sebagai penduduk lokal (bukan pendatang – datang setelah KK), di mana saja kantong-kantong pemukiman mereka, apa sistem mata pencahariannya, apakah kala itu mereka sudah melakukan aktivitas bercocok tanam secara menetap atau masih ada yang melakukan aktivitas bertani secara berindah-pindah, berburu dan meramu di dalam kawasan hutan, termasuk di Tanamalia, bagaimana proses akusisi lahan dan pemukiman kembali yang dijalankan oleh perusahaan, dan apa yang dilakukan oleh perusahaan untuk memitigasi dampak dari aktivitas perusahaan. Misalnya, pembangunan Dam Larona untuk hydropower menyebabkan naiknya permukaan air danau dan menenggelamkan lahan pertanian penduduk Loeha.
Jika perusahaan tidak melakukan mitigasi terhadap naiknya permukaan air danau yang menenggelamkan lahan pertanian penduduk dan penduduk kemudian beralih ke budidaya merica di kawasan hutan lindung untuk bertahan hidup, maka tindakan itu dimaklumi. Namun, masalahnya ialah petani yang kini membudidayakan merica di kawasan hutan lindung Tanamalia tidak lagi sekadar untuk bertahan hidup tetapi untuk memaksimalisasi produksi dan profit.
Ketiga, pengalihan fokus dari dampak pembangunan. Telah saya uraikan sebelumnya bahwa saya tidak membincangkan kontribusi industri besar terhadap kerusakan ekologis, karena telah menjadi perbincangan publik.
Mungkin yang lebih smenarik untuk dibahas terkait dengan kerusakan ekologis dan krisis iklim sebagai dampak pembangunan atau modernisasi ialah bagaimana narasi kemajuan (progress) yang diusung oleh modernisasi mengkoptasi pandangan dunia dan cara hidup petani lokal yang kemudian berkonsekuensi bagi berlangsungnya deforestasi dan degradasi lahan secara massif. Dalam konteks petani merica di kawasan hutan lindung Tanamalia, mereka tidak lagi membudidayakan merica untuk bertahan hidup sebagaimana yang dinarasikan oleh petani dan perempuan Loeha, tetapi untuk memenuhi hasrat konsumsi demi citra, gaya hidup, dan identitas. Bagi masyarakat kapitalis, identitas turut ditentukan oleh barang yang mereka beli. Lihat faktanya berapa banyak petani merica yang berdomisili di Loeha Raya yang memiliki mobil fortuner dan merek mobil mahal lainnya. Dengan demikian petani lokal juga merupakan korban dari narasi kemajuan.
Keempat, saya dianggap melakukan stigmatisasi terhadap petani lokal. Saya menjadi tidak jujur dan kritis apabila saya bersikukuh menyatakan bahwa petani merica di kawasan hutan lindung Tanamalia untuk sekadar bertahan hidup.
Kelima, kurangnya perspektif keadilan sosial dan ekologis. Jika keadilan sosial yang dimaksud ialah terwujudnya kondisi masyarakat yang inklusif, sejahtera, dan harmonis di mana tidak ada yang tertinggal karena latar belakang sosial, ekonomi, budaya, atau identitasnya, maka hal itu menjadi utopis di tengah masyarakat yang telah menjadi bagian dari masyarakat kapitalisme modern. Faktanya kehidupan komunalisme yang dahulu mewarnai masyarakat pedesaan, kini telah bergeser ke individualisme. Terlebih lagi Komunis sebagai ideologi untuk mengganyang kapitalisme telah diharamkan di Indonesia. Oleh karena itu, yang perlu mendapatkan perhatian ialah keadilan distributif. Misalnya, bagaimana dengan keberadaan perusahaan dapat memberikan manfaat bagi terwujudnya “well-being” bagi masyarakat yang terdampak oleh keberadaan dan aktivitas merusahaan. Hal itulah yang harus terus menerus disuarakan agar tanggung jawab sosial dan ekologis perusahaan terlaksana secara maksimal.
Narasi penolakan kehadiran industri pertambangan menjadi tidak produktif di tengah semua negara-bangsa menjadikan investor sebagai lokomotif untuk pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, transfer teknologi dan pengetahuan, peningkatan ekspor untuk menambah devisa negara, dan peningkatan daya saing nasional. Terlebih lagi investor yang telah mendapatkan izin dari negara.
Meskipun masih ada kesatuan sosial yang cara hidupnya masih mengikuti sebagian besar dari cara hidup leluhurnya – belum banyak terpengaruh oleh cara hidup masyarakat kapitalisme modern – disebut sebagai indigenous peoples atau masyarakat adat di Indonesia diakui hak ekonomi, sosial, dan budayanya, namun tetap menjadi bagian dari negara dan terikat oleh regulasi negara.
Demikianlah sehingga hal yang lebih produktif yang seyogyanya dilakukan dalam menyelesaikan masalah deforestasi di Tanamalia dan perbedaan kepentingan antara perusahaan dengan petani ialah membuka dialog untuk saling mendengar dan menemukan solusi yang saling menguntungkan dan senantiasa menjaga keberadaan hutan sebagai paru-paru bumi. (*)