PALOPOPOS.FAJAR.CO.ID. MAKASSAR-- Dalam rangka Hari Buruh 1 Mei dan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2 Mei, mahasiswa Wija To Luwu (WTL) menggelar aksi demo di Makassar, Jumat, 2 Mei 2025 lalu.
Aksi ini merupakan bentuk refleksi kritis dan solidaritas dari mahasiswa WTL terhadap dua sektor penting yang dinilai mengalami tekanan struktural yakni buruh dan sistem pendidikan.
Menurut Jendral Lapangan Aliansi WTL Menggugat, Adnan Prawansyah kepada Palopo Pos melalui keterangan tertulisnya kepada Palopo Pos, Jumat malam, ada dua isu yang disuarakan dalam aksi ini.
Pertama, hari buruh. Setiap tanggal 1 Mei dirayakan sebagai Hari Buruh. Mengapa Aliansi WTL Menguggat melakukan demonstrasi? Karena dampak industrialisasi pertambangan di Luwu.
Dijelaskan, Luwu Raya sebagai salah satu daerah di Sulawesi Selatan yang kaya akan sumber daya alam, khususnya mineral, telah berkembang menjadi wilayah industrialisasi pertambangan yang signifikan. Aktivitas pertambangan, baik nikel, emas, maupun mineral lainnya, membawa harapan pembangunan ekonomi, namun juga menimbulkan tantangan besar bagi lingkungan dan masyarakat lokal.
Namun di balik geliat ekonomi tersebut, terdapat dampak negatif yang tak bisa diabaikan. Salah satu dampak paling nyata adalah kerusakan lingkungan. Eksploitasi tambang dalam skala besar telah menyebabkan deforestasi, sedimentasi sungai, dan pencemaran air.
Mengulik lebih jauh, industrialisasi pertambangan juga membawa dampak sosial. Masyarakat lokal seringkali mengalami marginalisasi dalam proses pengambilan keputusan, sementara hak atas tanah adat atau lahan pertanian mereka terancam oleh ekspansi perusahaan tambang.
Konflik agrariapun kerap muncul antara warga dan perusahaan, bahkan antarwarga sendiri. Selain itu, ketimpangan sosial juga meningkat, yangmana kelompok yang terlibat dalam industri pertambangan menikmati kesejahteraan, sementara yang lain terpinggirkan.
Luwu Raya yang merupakan kawasan industrialisasi pertambangan juga menyimpan potret buram, meningkatnya kriminalisasi terhadap buruh yang bersuara. Dalam beberapa tahun terakhir, gejala pembungkaman terhadap pekerja yang memperjuangkan hak-haknya makin terasa nyata.
Buruh tidak hanya dihadapkan pada sistem kerja eksploitatif, tetapi juga pada ancaman hukum yang digunakan sebagai alat represi. Kriminalisasi buruh terjadi ketika pekerja atau serikat buruh dipidanakan, diintimidasi, atau dilabeli mengganggu keamanan hanya karena menyampaikan aspirasi secara damai.
Di Luwu Raya, bentuk-bentuk kriminalisasi ini mencakup pelaporan buruh ke polisi karena aksi mogok, pemanggilan aktivis buruh saat melakukan protes atas kondisi kerja, hingga ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan alasan tidak loyal terhadap perusahaan.
Akar dari kriminalisasi ini adalah ketimpangan kuasa antara buruh dan pemilik modal dalam hal ini perusahaan, serta lemahnya perlindungan hukum bagi pekerja di tingkat lokal. Serikat buruh sering dianggap sebagai ancaman, bukan mitra dialog. Hal ini diperparah dengan minimnya keberpihakan pemerintah daerah yang lebih sering memihak investasi tanpa mengedepankan prinsip keadilan sosial.
Fenomena-fenomena seperti inilah yang menggerakkan Aliansi WTL untuk melakukan demonstrasi dalam memperjuangkan hak buruh di Luwu Raya. Maka dari itu, Aliansi WTL yang merupakan representasi dari masyarakat Luwu Raya membawa beberapa tuntutan.
Di antaranya, satu, penghentian segala bentuk intimidasi dan kriminalisasi terhadap buruh. Dua hentikan penyerobotan lahan yang sewenang wenang yang dilakukan perusahaan di Luwu Raya dan lindungi hutan adat. Dan tiga, menuntut peningkatan jaminan sosial, kesejahteraan dan keadilan bagi buruh di Luwu Raya.
Kedua, hari pendidikan. Dalam semangat memperingati Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada 2 Mei 2025, Aliansi WTL sebagai bagian dari masyarakat Luwu Raya yang peduli terhadap masa depan pendidikan, pada momentum hari pendidikan mengangkat beberapa isu.
Demo, Ini Pernyataan Sikap Aliansi Wija To Luwu Menggugat
