Oleh : Nurdin (Dosen IAIN Palopo)
Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan, bahwa penghinaan atau pencemaran nama baik dalam UU ITE tidak berlaku terhadap lembaga pemerintah, institusi, profesi, korporasi, jabatan maupun kelompok dengan identitas tertentu.
Padahal kalau kita memaknai pasal 27A UU ITE. No problem, karena sedari awal frasa "Orang lain" dalam UU itu memang menunjuk pada individu (Natuurlijk person) yang dalam hukum Indonesia berarti "orang pribadi" atau "manusia" sebagai subjek hukum.
Tidak menyebut, "Badan Hukum" (Rechtsperson) yang juga merupakan subyek hukum. Di mana badan hukum merupakan entitas yang diberi status "persoon" oleh hukum, seperti perusahaan, yayasan, atau organisasi (institusi).
Dengan disebutkannya secara tegas dalam UU, frasa "Orang lain" Maka, tidak boleh menyasar selain itu, tidak ada tafsir selain orang sebagai individu. Bukankah ciri sistem hukum Eropa kontinental unsur-unsurnya harus jelas (Lex Certa)?
Cuman dalam praktiknya, kadang-kadang (sebagian) orang tidak bisa membedakan ini kritik apa menghina, misalnya mengatakan "Mulutnya kepala dinas X bau minyak tanah, penipu" Mungkin akan banyak yang sependapat dengan saya, itu adalah penghinaan. Meski dia pejabat publik.
Dan memang menghina. Tidak diatur sekalipun dalam UU, orang Indonesia menganggap bahwa itu merupakan perbuatan tercela. Negara ini, kan diatur oleh tidak hanya norma hukum, tetapi ada norma sopan santun, norma kesusilaan, dan juga norma agama.
Kadang kita mengabaikan norma lain selain dari norma hukum. Karena, norma hukum sanksinya jelas. Bisa langsung dirasakan, dilihat dengan mata telanjang. Sementara norma agama, sanksinya dari Tuhan yang boleh didapat di dunia atau dikemudian hari (bagi mereka yang yakin) dan itu pasti.
Beda lagi kalau dibilang, "Kepala dinas X kerjaannya tidak optimal, tidak becus dalam mengurus bidangnya. Mestinya, dia bekerja dengan cara bla..bla…" Logika berpikir kita boleh jadi sama, itu adalah bentuk kritik. Dan. Inilah yang dimaksud putusan MK itu.
Jadi, kritik dan menghina merupakan 2 hal yang berbeda. Menghina, tidak ada solusi yang ditawarkan. Oleh karena, itu dilakukan atas dasar kebencian, amarah. Sementara, kritik selalu ada solusi atau jalan keluar yang diberikan.
Sebenarnya, yang menjadi kegelisahan banyak orang sebab tidak semua bisa menerima jika dikritik dan malah balik menyerang yang mengkritiknya dengan alasan dihina. Bahkan, tidak jarang di antaranya adu jotos, sebagai penyelesaian akhir.
Padahal, mestinya kritik dijadikan vitamin atau cambuk. Mengapa? Agar seseorang bisa berbuat lebih baik dari sebelumnya, bisa bergerak maju sesuai dengan harapan. Kata guru saya, yang dikritik dianalogikan sebagaimana kerbau (Tedong) pembajak sawah.
Katanya, jika kita melihat kerbau dalam membajak sawah dicambuk bukan untuk disakiti, tetapi sekedar diingatkan agar fokus bergerak maju menarik bajak. Kalau Anda perhatikan baik-baik, meski kerbau dicambuk agar terus bergerak maju, kerbau tidak pernah menyerang balik si petani.
Oleh karena, boleh jadi kerbau itu menyadari betul konsekuensinya sebagai kerbau pembajak sawah. Jadi, kalau menjadi sorotan atau dikritik jadikan sebagai cambuk untuk memacu diri bergerak maju, bukan malah sebaliknya.
Kita ini, tidak boleh begitu sensitif terhadap kritik dan selalu menganggap kritik itu sebagai serangan pentungan terhadap dirinya, yang akan menghancurkan diri dan reputasinya. Saatnya mengubah mindset agar bisa lebih jernih melihat kritik secara profesional.
Mari kita menempatkan kritik itu sebagai cambuk bukan pentungan, lebih fatal lagi jika balik menyerang sang pengeritik. Oleh karena boleh jadi, akhirnya akan menertawakan diri sendiri atas ketololan sebab merasa lebih tolol dari kerbau penarik bajak di sawah.(*)